Belasan mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima, Senin (8/6) kemarin menggelar aksi di dalam kampus.
Belasan mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima, Senin (8/6) kemarin menggelar aksi di dalam kampus. Aksi mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Pro Demokrasi Kampus tersebut menolak kebijakan lembaga untuk menaikan SPP dan dana pembangunan. Menurut mereka itu sangat memberatkan dan ‘mencekik’ mahasiswa.
Sebagai bentuk kekecewaan terhadap kampus yang tidak merespon tuntutan, mereka membakar sedikitnya empat buah kursi di depan aula setempat. Aksi yang menjurus ke anarkisme tersebut sempat mendapat pertentangan dari sebagian mahasiswa lainnya. Namun ketegangan itu tidak meluas karena kedua pihak mampu menahan emosi. Meski demikian, pembakaran kursi tetap berlanjut hingga ludes menjadi arang.
Dalam orasinya, Koordinator Lapangan, Taufansyah menuding pihak kampus tidak memikirkan kondisi mahasiswa dengan menaikkan SPP. Kebijakan tersebut juga dinilai diambil sepihak tanpa ada sosialisasi lebih awal kepada seluruh mahasiswa. “Kenaikan ini berlaku untuk semua Program Studi. Untuk SPP dari Rp.750 ribu persemester menjadi Rp.950 ribu. Sedangkan uang pembangunan dari Rp.900 ribu menjadi Rp.1,2 juta,” ungkapnya.
Diakuinya, penolakan terhadap kebijakan tersebut sudah pernah disuarakan sebelumnya, namun pihak kampus diakui tidak merespon dan tetap menaikkannya. Kendati biaya baru yang dipatok tersebut akan berlaku untuk mahasiswa berikutnya pada tahun ajaran baru, tetapi tetap saja kebijakan itu merugikan mahasiswa. “Kami menolak dengan tegas kenaikan itu. Bila itu tetap diberlakukan, aksi akan terus kami lakukan,” tegas Taufan.
Selain menolak kenaikan SPP dan uang pembangunan, para mahasiswa dari berbagai Program Studi tersebut juga menuntuk pihak lembaga agar transparan terhadap pemasukan dan penggunaan anggaran kampus, mendesak agar melengkapi fasilitas perkuliahan dan meminta agar merealisasikan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Lembaga Kampus STKIP Bima melalui Puket III Kemahasiswaan, Herman, M.Pd, yang dikonfirmasi soal tuntutan mahasiswa mengaku aksi yang digelar tidak mengikuti prosedur. Pasalnya tidak ada pemberitahuan aksi kepada lembaga minimal penyampaian surat aksi kepada Puket III. Karenanya, terkait apa yang dituntut mahasiswa awalnya tidak mengetahui persis.
Kendati demikian kata Herman, aspirasi yang disampaikan tetap dilayani dan diakomodir. Ia membantah kebijakan menaikkan SPP dan uang pembangunan tersebut tidak ada sosialisasi awal. Sebab saat rapat membahas hal itu, mengundang perwakilan mahasiswa yakni BEM dan beberapa UKM yang ada dalam kampus. Hanya saja, keputusan yang dihasilkan belum disampaikan karena menunggu pengurus BEM yang mengikuti Rakernas BEM se-Indonesia di Bali.
Terkait dengan dasar menaikkan itu lanjutnya, diakui sudah mengikuti pedoman standar pendidikan perguruan tinggi. Lagi pula, kebijakan tidak berdampak pada mahasiswa yang lama tetapi hanya berlaku pada mahasiswa yang masuk tahun ajaran baru mendatang. Mengenai aksi pembakaran kursi, pihaknya akan mengambil langkah pembinaan terhadap mahasiswa. (KS-13)
Sebagai bentuk kekecewaan terhadap kampus yang tidak merespon tuntutan, mereka membakar sedikitnya empat buah kursi di depan aula setempat. Aksi yang menjurus ke anarkisme tersebut sempat mendapat pertentangan dari sebagian mahasiswa lainnya. Namun ketegangan itu tidak meluas karena kedua pihak mampu menahan emosi. Meski demikian, pembakaran kursi tetap berlanjut hingga ludes menjadi arang.
Dalam orasinya, Koordinator Lapangan, Taufansyah menuding pihak kampus tidak memikirkan kondisi mahasiswa dengan menaikkan SPP. Kebijakan tersebut juga dinilai diambil sepihak tanpa ada sosialisasi lebih awal kepada seluruh mahasiswa. “Kenaikan ini berlaku untuk semua Program Studi. Untuk SPP dari Rp.750 ribu persemester menjadi Rp.950 ribu. Sedangkan uang pembangunan dari Rp.900 ribu menjadi Rp.1,2 juta,” ungkapnya.
Diakuinya, penolakan terhadap kebijakan tersebut sudah pernah disuarakan sebelumnya, namun pihak kampus diakui tidak merespon dan tetap menaikkannya. Kendati biaya baru yang dipatok tersebut akan berlaku untuk mahasiswa berikutnya pada tahun ajaran baru, tetapi tetap saja kebijakan itu merugikan mahasiswa. “Kami menolak dengan tegas kenaikan itu. Bila itu tetap diberlakukan, aksi akan terus kami lakukan,” tegas Taufan.
Selain menolak kenaikan SPP dan uang pembangunan, para mahasiswa dari berbagai Program Studi tersebut juga menuntuk pihak lembaga agar transparan terhadap pemasukan dan penggunaan anggaran kampus, mendesak agar melengkapi fasilitas perkuliahan dan meminta agar merealisasikan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Lembaga Kampus STKIP Bima melalui Puket III Kemahasiswaan, Herman, M.Pd, yang dikonfirmasi soal tuntutan mahasiswa mengaku aksi yang digelar tidak mengikuti prosedur. Pasalnya tidak ada pemberitahuan aksi kepada lembaga minimal penyampaian surat aksi kepada Puket III. Karenanya, terkait apa yang dituntut mahasiswa awalnya tidak mengetahui persis.
Kendati demikian kata Herman, aspirasi yang disampaikan tetap dilayani dan diakomodir. Ia membantah kebijakan menaikkan SPP dan uang pembangunan tersebut tidak ada sosialisasi awal. Sebab saat rapat membahas hal itu, mengundang perwakilan mahasiswa yakni BEM dan beberapa UKM yang ada dalam kampus. Hanya saja, keputusan yang dihasilkan belum disampaikan karena menunggu pengurus BEM yang mengikuti Rakernas BEM se-Indonesia di Bali.
Terkait dengan dasar menaikkan itu lanjutnya, diakui sudah mengikuti pedoman standar pendidikan perguruan tinggi. Lagi pula, kebijakan tidak berdampak pada mahasiswa yang lama tetapi hanya berlaku pada mahasiswa yang masuk tahun ajaran baru mendatang. Mengenai aksi pembakaran kursi, pihaknya akan mengambil langkah pembinaan terhadap mahasiswa. (KS-13)
COMMENTS