Dalam waktu dekat, keluarga besar ahli waris tanah itu akan menyegel SDN Satampa Lawa yang berlokasi di Desa Sangia Kecamatan Sape Kabupaten Bima.
Dalam waktu dekat, keluarga besar ahli waris tanah itu akan menyegel SDN Satampa Lawa yang berlokasi di Desa Sangia Kecamatan Sape Kabupaten Bima. Pasalnya, selain dugaan pemalsuan surat keterangan hibah sebagai syarat untuk mendatangkan anggaran, tapi juga pemanfaatan lokasi seluas 40 x 80 Are itu tanpa ijin dari ahli waris. Padahal, keterangan hibah harus mendapat persetujuan ahli waris sebagai pemilik sah tanah tersebut.
“Jangankan menyetujui keterangan hibah, minta pamitpun tidak pernah dilakukan Panitia yang dibentuk untuk mengerjakan proyek pembangunan SDN tersebut. Konyolnya, surat keterangan hibah muncul tahun 2014 ini, itupun setelah ada keberatan ahli waris. Padahal, sekolah itu dibangun dua tahun lalu,” kata Gufran kepada Koran Stabilitas Senin (03/11).
Alasan sebagai dasar hukum untuk menyegel Sekolah itu sudah jelas, seperti tidak ada surat keterangan hibah, ada bukti kepemilikan tanah, bukti pernyataan penyerahan tanah kepada ahli waris dan bukti lain atas kepemilikan lahan tersebut. “Kami punya bukti atas kepemilikan lahan itu, kami berani mengambil sikap dan tindakan karena yakin tanah itu milik kami. Diperkuat dengan muncul surat keterangan hibah karena muncul keberatan kami atas penggunaan lahan tersebut,” ujarnya.
Munculnya, keterangan hibah lalu memaksa para ahli waris mendatangani keterangan hibah tersebut, menguatkan dugaan pemalsuan surat hibah sebelum anggaran itu terealisasi. Jadi, bila persoalan hibah dibahas lebih jauh, maka akan banyak pihak yang terlibat dalam dugaan pemalsuan keterangan tersebut. Diantaranya, Pemerintah Desa (Pemdes), Pemerintah Kecamatan, UPTD Pendidikan Sape, termasuk Dikpora Kabupaten Bima yang saat itu dipimpin Drs, A.Zubaer, H.Ar dan H. Dahlan sebagai Kabid Dikdasnya.
“Mereka harus bertanggungjawab atas dugaan pemalsuan surat keterangan hibah tanah tersebut. Karena, syarat untuk mendatangkan anggaran untuk bangun baru SDN itu harus ada keterangan hibah tanah, jadi sangat mustahil keterangan hibah muncul sedangkan ahli waris tidak mengetahuinya. Berarti, document itu sengaja dipalsukan demi mendatangkan anggaran,” duganya.
Gufran yang ditunjuk ahli waris untuk meluruskan persoalan tersebut menilai tindakan Panitia proyek pembangunan gedung SDN dimaksud, termasuk Pemdes, Camat, UPTD Pendidikan dan Dikpora Kabupaten yang menindaklanjuti proposal itu ke Pusat tergolong tindakan kejahatan yang melawan hukum. Karena, selain menyerobot hak orang lain, tapi juga memalsukan surat keterangan hibah. Selain itu, Panitia proyek juga dengan sewenang-wenang menebang 600 pohon jati alam yang sudah berumur 9 Tahun. “Setelah menguasai tanah, ratusan pohon jati alam yang kami tanam dan rawat ditebang begitu saja. Menurut saya, tindakan itu bagian dari kejahatan, jadi harus diproses sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Karenanya, ia meminta kepada Pemkab Bima dibawah kendali, Drs, H.Syafrudin, HM.Nur,M.Pd agar segera mengambil sikap atas persoalan tersebut. Karena, niat baik yang bertujuan memberikan pendidikan yang layak pada generasi bangsa bukan dengan cara seperti itu. Baginya, cara demikian bukan mencerdaskan anak bangsa, tapi secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk melanggar aturan.
Tak hanya itu, ia juga meminta anggota dewan perwakilan Sape untuk mengakomodir masalah yang sudah dan sedang dihadapi pemilik sah tanah tersebut. “Pemda dan anggota dewan perwakilan Sape-Lambu harus segera mengambil sikap tegas, jangan sampai persoalan itu dibiarkan berkepanjangan. Karena, saya khawatir akan menimbulkan konflik horizontal. Solusinya, persoalan itu harus segera dicarikan solusinya, jadi peran Pemerintah sangat dibutuhkan,” saranya. (KS-09)
“Jangankan menyetujui keterangan hibah, minta pamitpun tidak pernah dilakukan Panitia yang dibentuk untuk mengerjakan proyek pembangunan SDN tersebut. Konyolnya, surat keterangan hibah muncul tahun 2014 ini, itupun setelah ada keberatan ahli waris. Padahal, sekolah itu dibangun dua tahun lalu,” kata Gufran kepada Koran Stabilitas Senin (03/11).
Alasan sebagai dasar hukum untuk menyegel Sekolah itu sudah jelas, seperti tidak ada surat keterangan hibah, ada bukti kepemilikan tanah, bukti pernyataan penyerahan tanah kepada ahli waris dan bukti lain atas kepemilikan lahan tersebut. “Kami punya bukti atas kepemilikan lahan itu, kami berani mengambil sikap dan tindakan karena yakin tanah itu milik kami. Diperkuat dengan muncul surat keterangan hibah karena muncul keberatan kami atas penggunaan lahan tersebut,” ujarnya.
Munculnya, keterangan hibah lalu memaksa para ahli waris mendatangani keterangan hibah tersebut, menguatkan dugaan pemalsuan surat hibah sebelum anggaran itu terealisasi. Jadi, bila persoalan hibah dibahas lebih jauh, maka akan banyak pihak yang terlibat dalam dugaan pemalsuan keterangan tersebut. Diantaranya, Pemerintah Desa (Pemdes), Pemerintah Kecamatan, UPTD Pendidikan Sape, termasuk Dikpora Kabupaten Bima yang saat itu dipimpin Drs, A.Zubaer, H.Ar dan H. Dahlan sebagai Kabid Dikdasnya.
“Mereka harus bertanggungjawab atas dugaan pemalsuan surat keterangan hibah tanah tersebut. Karena, syarat untuk mendatangkan anggaran untuk bangun baru SDN itu harus ada keterangan hibah tanah, jadi sangat mustahil keterangan hibah muncul sedangkan ahli waris tidak mengetahuinya. Berarti, document itu sengaja dipalsukan demi mendatangkan anggaran,” duganya.
Gufran yang ditunjuk ahli waris untuk meluruskan persoalan tersebut menilai tindakan Panitia proyek pembangunan gedung SDN dimaksud, termasuk Pemdes, Camat, UPTD Pendidikan dan Dikpora Kabupaten yang menindaklanjuti proposal itu ke Pusat tergolong tindakan kejahatan yang melawan hukum. Karena, selain menyerobot hak orang lain, tapi juga memalsukan surat keterangan hibah. Selain itu, Panitia proyek juga dengan sewenang-wenang menebang 600 pohon jati alam yang sudah berumur 9 Tahun. “Setelah menguasai tanah, ratusan pohon jati alam yang kami tanam dan rawat ditebang begitu saja. Menurut saya, tindakan itu bagian dari kejahatan, jadi harus diproses sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Karenanya, ia meminta kepada Pemkab Bima dibawah kendali, Drs, H.Syafrudin, HM.Nur,M.Pd agar segera mengambil sikap atas persoalan tersebut. Karena, niat baik yang bertujuan memberikan pendidikan yang layak pada generasi bangsa bukan dengan cara seperti itu. Baginya, cara demikian bukan mencerdaskan anak bangsa, tapi secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk melanggar aturan.
Tak hanya itu, ia juga meminta anggota dewan perwakilan Sape untuk mengakomodir masalah yang sudah dan sedang dihadapi pemilik sah tanah tersebut. “Pemda dan anggota dewan perwakilan Sape-Lambu harus segera mengambil sikap tegas, jangan sampai persoalan itu dibiarkan berkepanjangan. Karena, saya khawatir akan menimbulkan konflik horizontal. Solusinya, persoalan itu harus segera dicarikan solusinya, jadi peran Pemerintah sangat dibutuhkan,” saranya. (KS-09)
COMMENTS