Kota Bima, KS. - Ada yang aneh soal penarikan biaya saat donor atau transfusi darah untuk pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bima. Fak...
Kota Bima, KS.- Ada yang aneh soal penarikan biaya saat donor atau transfusi darah untuk pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bima. Faktanya, biaya pembelian sekantong darah dan saat keluarga pasien mendonor darah, di RSUD Bima yang kini sudah berstatus menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), biaya administrasinya sama saja yaitu sebesar Rp350 ribu.
Ilustrasi
Kejanggalan ini diungkapkan oleh warga Rontu, Rasyidin Has saat Bapaknya sedang rawat inap (pasien non BPJS) di RSUD Bima pekan yang. Kata Has, penyakit yang diderita orang tuanya itu membutuhkan transfusi darah dengan golongan darah O. Saat transfusi pertama, kebetulan pihak RSUD memilik stok, dirinya membayar darah sekantong seharga Rp350 ribu.
Saat transfusi tambahan, Has melanjutkan, pihak RSUD kehabisan stok. Disarankan oleh pihak RSUD untuk mencari pendonor yang kebetulan darah orang tuanya sama dengan golongan darahnya.
“Karena sama bergolongan darah O, saya langsung mendonorkan darah untuk keperluan transfusi darah orang tua Saya,” cerita Has, pada Koran Stabilitas, Minggu (17/7) kemarin.
Usai mendonor, Kata lelaki yang berporfesi sebagai Guru SMA itu, biaya administrasi yang ditarik oleh pihak RSUD sama saja dengan biaya membeli sekantong darah di RSUD yaitu Rp350 ribu.
Ia pun merasa ada yang aneh. Namun, keanehan tak diperpanjang di situ. Mengingat, kebutuhan darah orang tuanya lebih penting dari pada soal biaya administrasi yang dimintai petugas medis aat itu.
“Saya ngak protes dulu, karena kebutuhan darah sangat mendesak bagi orang tua saya. Dan saya pun langsung membayar biaya sebesar Rp350 ribu ke pihak RSUD. Ada kuitansinya kok,” ucapnya.
Ia pun melanjutkan, pada satu kesempatan, ia pun sempat mempertanyakan keanehan ini ke salah seorang pegawai medis di bagian transfusi darah.
“Kenapa soal biaya administrasinya bisa sama saat membeli sekantong darah langsung di RSUD dengan biaya sekantong darah hasil donor keluarga pasien? Logikanya, kalau darahnya stok RS wajar mahal karena hasil donor darah orang lain yang mungkin orang tersebut dibayar jasanya oleh RS. Tapi, ketika donor darah pasien didapatkan gratis (dari keluarga pasien), kok biaya sekantong darah sama mahalnya (Rp350 ribu)?” tanya Has pada salah seorang pegawai medis saat itu.
Mengutip penjelasan pegawai medis, kata Has, ternyata bukan biaya darahnya yang mahal. Tapi biaya perawatan, kantung darah dan biaya proses pemisahan darah sebelum transfusi yang mahal untuk biaya perawatan alat, jasa medis dan lain-lain.
Alasan perawat itu masuk diakal. Tapi, menurut dia, bagaimanapun juga walau alat pengolahan transfusi darah butuh perawatan yang mahal, tentu tidak boleh disamakan biaya administrasi satu kantong darah yang sumber darahnya dari RS atau PMI dengan sekantong darah dari keluarga pasien.
“Aneh Kalau begini cara kerja manajemen RSUD memperdagangkan darah. Jelas beda harga air minum yang diambil secara gratis di Mutmainah, dengan air yang dibeli lewat usaha penyulingan dan kemasan. Menyamakan tarik itu tak proporsional. Harusnya. Harga kantong darah yang sumber darahnya dari keluarga pasien, harus lebih murah dibandingkan kantong darah yang merupakan milik atau stok RS,” urainya.
Ia pun menuding, menajemen RS sengaja mengkomersialkan bantuan dan keihlasan seseorang yang mendonorkan darahnya secara gratis dan memanfaatkannya kepada pasien non BPJS.
“Menyamakan harga sekantong darah dari stok milik RS dengan kantong darah hasil pendonoran secara sukarela dan keihlasan seseorang, sungguh tindakan manajemen dalam mencari pendapatan sangat tidak terpuji. Menyalahgunakan kebaikan dan keihlasan seseorang,” pungkas sastrawan itu.
Sementara itu, Direktur RSUD Bima, drg. Ihsan masih beusaha dikonfirmasi hingga berita ini dinaikkan. (KS-08)
Ilustrasi
Kejanggalan ini diungkapkan oleh warga Rontu, Rasyidin Has saat Bapaknya sedang rawat inap (pasien non BPJS) di RSUD Bima pekan yang. Kata Has, penyakit yang diderita orang tuanya itu membutuhkan transfusi darah dengan golongan darah O. Saat transfusi pertama, kebetulan pihak RSUD memilik stok, dirinya membayar darah sekantong seharga Rp350 ribu.
Saat transfusi tambahan, Has melanjutkan, pihak RSUD kehabisan stok. Disarankan oleh pihak RSUD untuk mencari pendonor yang kebetulan darah orang tuanya sama dengan golongan darahnya.
“Karena sama bergolongan darah O, saya langsung mendonorkan darah untuk keperluan transfusi darah orang tua Saya,” cerita Has, pada Koran Stabilitas, Minggu (17/7) kemarin.
Usai mendonor, Kata lelaki yang berporfesi sebagai Guru SMA itu, biaya administrasi yang ditarik oleh pihak RSUD sama saja dengan biaya membeli sekantong darah di RSUD yaitu Rp350 ribu.
Ia pun merasa ada yang aneh. Namun, keanehan tak diperpanjang di situ. Mengingat, kebutuhan darah orang tuanya lebih penting dari pada soal biaya administrasi yang dimintai petugas medis aat itu.
“Saya ngak protes dulu, karena kebutuhan darah sangat mendesak bagi orang tua saya. Dan saya pun langsung membayar biaya sebesar Rp350 ribu ke pihak RSUD. Ada kuitansinya kok,” ucapnya.
Ia pun melanjutkan, pada satu kesempatan, ia pun sempat mempertanyakan keanehan ini ke salah seorang pegawai medis di bagian transfusi darah.
“Kenapa soal biaya administrasinya bisa sama saat membeli sekantong darah langsung di RSUD dengan biaya sekantong darah hasil donor keluarga pasien? Logikanya, kalau darahnya stok RS wajar mahal karena hasil donor darah orang lain yang mungkin orang tersebut dibayar jasanya oleh RS. Tapi, ketika donor darah pasien didapatkan gratis (dari keluarga pasien), kok biaya sekantong darah sama mahalnya (Rp350 ribu)?” tanya Has pada salah seorang pegawai medis saat itu.
Mengutip penjelasan pegawai medis, kata Has, ternyata bukan biaya darahnya yang mahal. Tapi biaya perawatan, kantung darah dan biaya proses pemisahan darah sebelum transfusi yang mahal untuk biaya perawatan alat, jasa medis dan lain-lain.
Alasan perawat itu masuk diakal. Tapi, menurut dia, bagaimanapun juga walau alat pengolahan transfusi darah butuh perawatan yang mahal, tentu tidak boleh disamakan biaya administrasi satu kantong darah yang sumber darahnya dari RS atau PMI dengan sekantong darah dari keluarga pasien.
“Aneh Kalau begini cara kerja manajemen RSUD memperdagangkan darah. Jelas beda harga air minum yang diambil secara gratis di Mutmainah, dengan air yang dibeli lewat usaha penyulingan dan kemasan. Menyamakan tarik itu tak proporsional. Harusnya. Harga kantong darah yang sumber darahnya dari keluarga pasien, harus lebih murah dibandingkan kantong darah yang merupakan milik atau stok RS,” urainya.
Ia pun menuding, menajemen RS sengaja mengkomersialkan bantuan dan keihlasan seseorang yang mendonorkan darahnya secara gratis dan memanfaatkannya kepada pasien non BPJS.
“Menyamakan harga sekantong darah dari stok milik RS dengan kantong darah hasil pendonoran secara sukarela dan keihlasan seseorang, sungguh tindakan manajemen dalam mencari pendapatan sangat tidak terpuji. Menyalahgunakan kebaikan dan keihlasan seseorang,” pungkas sastrawan itu.
Sementara itu, Direktur RSUD Bima, drg. Ihsan masih beusaha dikonfirmasi hingga berita ini dinaikkan. (KS-08)
COMMENTS