Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) NTB, Haris Mahtul menyesalkan insiden pelarangan wartawan untuk meliput Pelantikan Anggota DPRD Kota Bima
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) NTB, Haris Mahtul menyesalkan insiden pelarangan wartawan untuk meliput Pelantikan Anggota DPRD Kota Bima, Rabu lalu oleh panitia dan aparat Kepolisian di Convention Hall. Semestinya, jika ada larangan harus dijelaskan alasannya. Sepanjang itu rasional, jurnalis akan terima dan memahami, tidak akan memaksa untuk masuk.
Haris menegaskan, jika tanpa alasan jelas, maka tidak ada alasan untuk melarang jurnalis masuk ke ruangan acara yang terbuka untuk publik. Jika acara yang digelar tertutup bagi media maka patut dicurigai, ada sesuatu yang ditutupi. “Jangan lupa, dalam situasi seperti ini, jurnalis tidak akan pernah menyerah, bahkan semakin terpancing untuk membongkar apa sebenarnya yang terjadi di acara tertutup itu” katanya.
Di era keterbukaan informasi saat ini lanjutnya, nyaris tidak ada batasan bagi publik untuk mengakses peristiwa dan informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Apalagi ini kaitan dengan pelantikan dewan, wartawan harus meliput, karena itu akan disampaikan ke publik. Sebab publik dan masyarakat harus tau, siapa saja wakilnya yang akan dipantau perilakunya selama lima tahun mendatang.
“Panitia dan petugas yang melarang, tentu atas perintah atasannya. Jadi atasan mereka lah yang harus belajar tentang keterbukaan informasi publik, dan memahami bagaimana fungsi dan kemerdekaan pers” tuturnya.
Haris melanjutkan, jika yang dikuatirkan panitia dan aparat keamanan adalah wartawan tidak tertib di dalam ruangan, itu hanya alasan klise. Sebab wartawan juga punya kode etik, tata krama, dalam menjalankan tugas dan itu bisa didiskusikan dari awal agar tidak terjadi ketegangan saat berlangsungnya acara. Namun yang mengherankan, jurnalis sudah dilengkapi tanda pengenal ganda, ID card dari redaksi dan ID card dari panitia masih juga dilarang. “Ada apa sebenarnya dengan penyelenggara acara? Berarti ada yang mengeluarkan perintah baru untuk melarang wartawan meliput langsung,” duganya.
Perlu diingat tegasnya, pers sudah dijamin Undang - Undang 40 Tahun 1999 dalam menjalankan tugas jurnalistik dan diatur etikanya dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam ketentuan yang sama, kerja jurnalistik juga dilindungi. Dalam ketentuan Pasal 18, Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). “Ancaman ini berlaku untuk siapapun yang dengan sengaja menghalang-halangi tugas pers,” jelasnya.
Namun demikian, pihaknya mengapresiasi sikap Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin dan Ketua DPRD Kota Bima terpilih, Ferry Sofian yang langsung menyampaikan permintaan maaf. “Jika persoalannya adalah miskomunikasi, maka harapan kami kejadian ini tidak terjadi di momen acara pemerintah berikutnya,” pungkas Haris. (KS-13)
Haris menegaskan, jika tanpa alasan jelas, maka tidak ada alasan untuk melarang jurnalis masuk ke ruangan acara yang terbuka untuk publik. Jika acara yang digelar tertutup bagi media maka patut dicurigai, ada sesuatu yang ditutupi. “Jangan lupa, dalam situasi seperti ini, jurnalis tidak akan pernah menyerah, bahkan semakin terpancing untuk membongkar apa sebenarnya yang terjadi di acara tertutup itu” katanya.
Di era keterbukaan informasi saat ini lanjutnya, nyaris tidak ada batasan bagi publik untuk mengakses peristiwa dan informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Apalagi ini kaitan dengan pelantikan dewan, wartawan harus meliput, karena itu akan disampaikan ke publik. Sebab publik dan masyarakat harus tau, siapa saja wakilnya yang akan dipantau perilakunya selama lima tahun mendatang.
“Panitia dan petugas yang melarang, tentu atas perintah atasannya. Jadi atasan mereka lah yang harus belajar tentang keterbukaan informasi publik, dan memahami bagaimana fungsi dan kemerdekaan pers” tuturnya.
Haris melanjutkan, jika yang dikuatirkan panitia dan aparat keamanan adalah wartawan tidak tertib di dalam ruangan, itu hanya alasan klise. Sebab wartawan juga punya kode etik, tata krama, dalam menjalankan tugas dan itu bisa didiskusikan dari awal agar tidak terjadi ketegangan saat berlangsungnya acara. Namun yang mengherankan, jurnalis sudah dilengkapi tanda pengenal ganda, ID card dari redaksi dan ID card dari panitia masih juga dilarang. “Ada apa sebenarnya dengan penyelenggara acara? Berarti ada yang mengeluarkan perintah baru untuk melarang wartawan meliput langsung,” duganya.
Perlu diingat tegasnya, pers sudah dijamin Undang - Undang 40 Tahun 1999 dalam menjalankan tugas jurnalistik dan diatur etikanya dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam ketentuan yang sama, kerja jurnalistik juga dilindungi. Dalam ketentuan Pasal 18, Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). “Ancaman ini berlaku untuk siapapun yang dengan sengaja menghalang-halangi tugas pers,” jelasnya.
Namun demikian, pihaknya mengapresiasi sikap Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin dan Ketua DPRD Kota Bima terpilih, Ferry Sofian yang langsung menyampaikan permintaan maaf. “Jika persoalannya adalah miskomunikasi, maka harapan kami kejadian ini tidak terjadi di momen acara pemerintah berikutnya,” pungkas Haris. (KS-13)
COMMENTS