Sejumlah mahasiswa dari kelompok Partai Rakyat Demokrasi (PRD) Bima, Senin (1/9) kemarin kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Pemerintah Kota Bima.
Sejumlah mahasiswa dari kelompok Partai Rakyat Demokrasi (PRD) Bima, Senin (1/9) kemarin kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Pemerintah Kota Bima. Tuntutan yang mereka sampaikan masih sama seperti saat aksi beberapa hari sebelumnya. Organisasi sayap Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) itu menyorot berbagai persoalan di Amahami.
Diantaranya, terkait penebangan pohon mangrove, penimbunan bibir pantai dan penertiban sertifikat tanah dengan PT Pelindo yang diindikasi bermasalah. Massa yang dikoordinir, Adi supriadi itu datang menggunakan sepeda motor dan memulai aksi sekitar pukul 10.19 wita. Dalam aksi itu mereka tidak melakukan orasi, tetapi hanya berdiam diri dan membentangkan kertas berisi tulisan.
Dalam kertas itu mereka meminta pertanggungjawaban Pemkot Bima yang diduga telah melakukan penebangan pohon mangrove. Perbuatan itu dinilai telah melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebab pohon mangrove merupakan tanaman yang dilindungi Negara.
Mereka juga menulis pernolakan terhadap penimbunan laut yang diduga dilakukan Pemkot Bima dan mendesak segera menormalisasi kembali dengan pengerukan laut wilayah pesisir Amahami. Selain itu, mendesak agar segera menerbitkan sertifikat tanah masyarakat yang bermasalah dengan PT Pelindo Bima. Mulai dari Kelurahan Tanjung hingga Kelurahan Melayu.
Perwakilan massa aksi, Yasin mengaku telah menyampaikan sejumlah persoalan tersebut kepada Pemerintah Kota Bima melalui audiensi sebelumnya. Namun dalam pertemua itu diakui tidak ada titik temu antara mahasiswa dan Pemkot Bima yang diwakili Wakil Walikota Bima. “Kami menilai Pemkot Bima ingin lepas tanggungjawab dari persoalan ini,” tudingnya.
Padahal kata dia, pada tahun 2002 semua pohon mangrove di Amahami telah ditanam bersama melibatkan sejumlah unsur, termasuk perwakilan mahasiswa dari PRD. Status tanah di wilayah pesisir Amahami ketika itu sangat jelas merupakan milik pemerintah. Namun, belakangan tiba-tiba masyarakat dikagetkan dengan penimbunan Amahami dengan menebang pohon mangrove karena mengaku telah disertifikat warga tertentu.
“Sangat aneh, bila tanah pemerintah bisa disertifikat dengan mudah oleh warga etnis tertentu. Kami menduga ada konspirasi busuk pemerintah untuk memuluskan agenda itu,” tuding Yasin.
Hingga aksi berakhir sekitar pukul 12.00 wita, tak satupun perwakilan Pemerintah Kota Bima yang menemui massa. Mereka pun berjanji akan kembali turun mendesak pentuntasan persoalan tersebut dengan massa yang lebih banyak. (KS-13)
Diantaranya, terkait penebangan pohon mangrove, penimbunan bibir pantai dan penertiban sertifikat tanah dengan PT Pelindo yang diindikasi bermasalah. Massa yang dikoordinir, Adi supriadi itu datang menggunakan sepeda motor dan memulai aksi sekitar pukul 10.19 wita. Dalam aksi itu mereka tidak melakukan orasi, tetapi hanya berdiam diri dan membentangkan kertas berisi tulisan.
Dalam kertas itu mereka meminta pertanggungjawaban Pemkot Bima yang diduga telah melakukan penebangan pohon mangrove. Perbuatan itu dinilai telah melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebab pohon mangrove merupakan tanaman yang dilindungi Negara.
Mereka juga menulis pernolakan terhadap penimbunan laut yang diduga dilakukan Pemkot Bima dan mendesak segera menormalisasi kembali dengan pengerukan laut wilayah pesisir Amahami. Selain itu, mendesak agar segera menerbitkan sertifikat tanah masyarakat yang bermasalah dengan PT Pelindo Bima. Mulai dari Kelurahan Tanjung hingga Kelurahan Melayu.
Perwakilan massa aksi, Yasin mengaku telah menyampaikan sejumlah persoalan tersebut kepada Pemerintah Kota Bima melalui audiensi sebelumnya. Namun dalam pertemua itu diakui tidak ada titik temu antara mahasiswa dan Pemkot Bima yang diwakili Wakil Walikota Bima. “Kami menilai Pemkot Bima ingin lepas tanggungjawab dari persoalan ini,” tudingnya.
Padahal kata dia, pada tahun 2002 semua pohon mangrove di Amahami telah ditanam bersama melibatkan sejumlah unsur, termasuk perwakilan mahasiswa dari PRD. Status tanah di wilayah pesisir Amahami ketika itu sangat jelas merupakan milik pemerintah. Namun, belakangan tiba-tiba masyarakat dikagetkan dengan penimbunan Amahami dengan menebang pohon mangrove karena mengaku telah disertifikat warga tertentu.
“Sangat aneh, bila tanah pemerintah bisa disertifikat dengan mudah oleh warga etnis tertentu. Kami menduga ada konspirasi busuk pemerintah untuk memuluskan agenda itu,” tuding Yasin.
Hingga aksi berakhir sekitar pukul 12.00 wita, tak satupun perwakilan Pemerintah Kota Bima yang menemui massa. Mereka pun berjanji akan kembali turun mendesak pentuntasan persoalan tersebut dengan massa yang lebih banyak. (KS-13)
COMMENTS