Namun, tak jarang terjadi ada oknum Anggota Dewan yang awal-awalnya lantang menyuarakan demi dan atas nama rakyat.
Wakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman teman dekat. Apalagi sanak famili. Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat, Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju. Demikian potongan syair lagu yang dibawakan salah satu penyanyi Legendaris Indonesia, Iwan Fals.
Namun, tak jarang terjadi ada oknum Anggota Dewan yang awal-awalnya lantang menyuarakan demi dan atas nama rakyat. Tetapi seiring berjalannya waktu, suara keras dan lantang baik melalui rapat dengan Eksekutif, Yudikatif maupun melalui pemberitaan di Media Massa, perlahan mulai meredup. Bahkan, semakin lama sudah tidak terdengar lagi. Alasanya, ada alasan yang harus dipertimbangkan.
Padahal, Wakil Rakyat yang duduk di Lembaga Dewan memiliki tugas dan peran penting untuk mengawasi sekaligus mengontrol pengelolaan APBD oleh Eksekutif. “Maunya saya, kalau sudah diawali dengan suara lantang maka harus berakhir dengan suara lantang pula. Jangan sampai Anggota Dewan kemasukan angin, karena sudah terlibat dalam system,” kata Aktivis Partai Golkar, Ismail, S.Sos kepada Koran Stabilitas Kamis (23/10).
Namun ia menilai suara lantang yang ditunjukan 45 Anggota Dewan terpilih periode 2014-2019 merupakan bagian daripada semangat baru. Hanya saja dibutuhkan kesadaran diri dan komitmen yang kuat dihati para wakil rakyat tersebut. Sehingga, semangat yang diawali dengan angin segar sesuai harapan rakyat harus berbuah manis. “Saya maklumi semangat baru anggota dewan periode saat ini, tapi jangan sampai semangat itu hanya sebagai kulit luarnya. Maksudnya, yang diperjuangkan atas nama rakyat tapi hasilnya untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Jika dilirik pada periode sebelumnya lanjut Ismail yang juga Ketua Yayasan Peduli Masyarakat Pedesaan (YPMP) itu, terindikasi sekitar 60 persen Anggota Dewan lebih cenderung berjuang atas nama rakyat dan Partai sebagai kendaraan politik, tetapi hasilnya diduga untuk kepentingan pribadi. Padahal, dipundak mereka (anggota dewan) ada harapan rakyat yang harus diperjuangkan. “Saya amati periode sebelumnya seperti itu, bisa jadi anggota dewan periode saat ini juga tidak jauh beda, berjuang atas nama rakyat dan Partai, tapi hasilnya dinikmati sendiri. Harusnya, perjuangan yang mengatasnamakan rakyat benar-benar dinikmati rakyat sebagai penerima manfaat. Bukan berarti, saya mendorong rakyat menjadi kontraktor, tapi maksud saya manfaat perjuangannya ,” tutur Ismail.
Selain itu, ia juga menyorot Anggota Dewan yang hanya bisa mengkritik, sementara eksennya dilapangan tidak ada. Maksudnya, hanya bisa berteriak dan mengkritik, tapi tidak dibuktikan melalui tindakan nyata. Bahkan, jarang ada anggota dewan yang memberikan solusi atas kritikannya. Semestinya imbuh Ismail, kritikan harus disertai solusi, atau jangan-jangan hanya mengkritik tanpa dasar dan pegangan data atas kondisi rill yang sudah dan sedang dialami masyarakat. “Jadi jangan hanya pintar kritik, sementara tidak ada solusi yang ditawarkan. Saya amati selama ini, ramai-ramai mengkrtik tapi action dilapangan tidak ada, tugas dewan tidak sekedar kritik, boleh kritik tapi harus sesuai data dan kondisi rill yang terjadi di masyarakat. Sehingga tidak hanya kritik, tapi juga melahirkan solusi,” terangnya.
Pada kesempatan itu, ia mengaku khawatir dengan keberadaan anggota dewan. Alasanya, sebagian besar jabatan sebagai wakil rakyat diduga diperoleh karena hasil money politik (Politik uang). Sehingga, untuk benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat sangat tipis, karena yang dipikirkan adalah bagaiamana cara untuk mengembalikan uang yang dihabiskan pada saat prosesi Pemilihan Legislative (Pileg) berlangsung. “Kalau suara didapat bukan karena pendekatan dan benar-benar lahir dari nurani rakyat, saya rasa perjuangan untuk rakyat jauh api dengan panggang. Karena dibenak mereka (anggota dewan red) terlintas cara untuk mengembalikan uang yang diduga digunakan untuk beli suara, tapi saya tidak semua anggota dewan seperti itu,” duganya.
Solusinya sebut Ismail, agar tidak muncul asumsi negative rakyat terhadap kinerja anggota dewan adalah menanamkan kesadaran pribadi pada masing-masing anggota dewan. Sehingga, tidak terlintas hasrat untuk melakukan korupsi dan praktek yang menyimpang dari aturan main sesungguhnya. Tapi, hal itu harus ada niat dan komitmen para anggota dewan, sehingga janji yang diucapkan saat pengambilan sumpah Jabatan tidak dilanggar. “Harus ada kesadaran, bahwa keberadaan mereka atas dan oleh karena rakyat. Jadi, suara rakyat tidak sekedar didengar tapi disampaikan lalu diperjuangkan. Namun, untuk mewujudkan hal itu sehingga tidak muncul hasrat korup mesti kesadaran yang benar-benar lahir dari lubuk hati yang dalam, bukan karena dorongan dari pihak lain,” pungkasnya. (KS-09)
Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat, Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju. Demikian potongan syair lagu yang dibawakan salah satu penyanyi Legendaris Indonesia, Iwan Fals.
Namun, tak jarang terjadi ada oknum Anggota Dewan yang awal-awalnya lantang menyuarakan demi dan atas nama rakyat. Tetapi seiring berjalannya waktu, suara keras dan lantang baik melalui rapat dengan Eksekutif, Yudikatif maupun melalui pemberitaan di Media Massa, perlahan mulai meredup. Bahkan, semakin lama sudah tidak terdengar lagi. Alasanya, ada alasan yang harus dipertimbangkan.
Padahal, Wakil Rakyat yang duduk di Lembaga Dewan memiliki tugas dan peran penting untuk mengawasi sekaligus mengontrol pengelolaan APBD oleh Eksekutif. “Maunya saya, kalau sudah diawali dengan suara lantang maka harus berakhir dengan suara lantang pula. Jangan sampai Anggota Dewan kemasukan angin, karena sudah terlibat dalam system,” kata Aktivis Partai Golkar, Ismail, S.Sos kepada Koran Stabilitas Kamis (23/10).
Namun ia menilai suara lantang yang ditunjukan 45 Anggota Dewan terpilih periode 2014-2019 merupakan bagian daripada semangat baru. Hanya saja dibutuhkan kesadaran diri dan komitmen yang kuat dihati para wakil rakyat tersebut. Sehingga, semangat yang diawali dengan angin segar sesuai harapan rakyat harus berbuah manis. “Saya maklumi semangat baru anggota dewan periode saat ini, tapi jangan sampai semangat itu hanya sebagai kulit luarnya. Maksudnya, yang diperjuangkan atas nama rakyat tapi hasilnya untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Jika dilirik pada periode sebelumnya lanjut Ismail yang juga Ketua Yayasan Peduli Masyarakat Pedesaan (YPMP) itu, terindikasi sekitar 60 persen Anggota Dewan lebih cenderung berjuang atas nama rakyat dan Partai sebagai kendaraan politik, tetapi hasilnya diduga untuk kepentingan pribadi. Padahal, dipundak mereka (anggota dewan) ada harapan rakyat yang harus diperjuangkan. “Saya amati periode sebelumnya seperti itu, bisa jadi anggota dewan periode saat ini juga tidak jauh beda, berjuang atas nama rakyat dan Partai, tapi hasilnya dinikmati sendiri. Harusnya, perjuangan yang mengatasnamakan rakyat benar-benar dinikmati rakyat sebagai penerima manfaat. Bukan berarti, saya mendorong rakyat menjadi kontraktor, tapi maksud saya manfaat perjuangannya ,” tutur Ismail.
Selain itu, ia juga menyorot Anggota Dewan yang hanya bisa mengkritik, sementara eksennya dilapangan tidak ada. Maksudnya, hanya bisa berteriak dan mengkritik, tapi tidak dibuktikan melalui tindakan nyata. Bahkan, jarang ada anggota dewan yang memberikan solusi atas kritikannya. Semestinya imbuh Ismail, kritikan harus disertai solusi, atau jangan-jangan hanya mengkritik tanpa dasar dan pegangan data atas kondisi rill yang sudah dan sedang dialami masyarakat. “Jadi jangan hanya pintar kritik, sementara tidak ada solusi yang ditawarkan. Saya amati selama ini, ramai-ramai mengkrtik tapi action dilapangan tidak ada, tugas dewan tidak sekedar kritik, boleh kritik tapi harus sesuai data dan kondisi rill yang terjadi di masyarakat. Sehingga tidak hanya kritik, tapi juga melahirkan solusi,” terangnya.
Pada kesempatan itu, ia mengaku khawatir dengan keberadaan anggota dewan. Alasanya, sebagian besar jabatan sebagai wakil rakyat diduga diperoleh karena hasil money politik (Politik uang). Sehingga, untuk benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat sangat tipis, karena yang dipikirkan adalah bagaiamana cara untuk mengembalikan uang yang dihabiskan pada saat prosesi Pemilihan Legislative (Pileg) berlangsung. “Kalau suara didapat bukan karena pendekatan dan benar-benar lahir dari nurani rakyat, saya rasa perjuangan untuk rakyat jauh api dengan panggang. Karena dibenak mereka (anggota dewan red) terlintas cara untuk mengembalikan uang yang diduga digunakan untuk beli suara, tapi saya tidak semua anggota dewan seperti itu,” duganya.
Solusinya sebut Ismail, agar tidak muncul asumsi negative rakyat terhadap kinerja anggota dewan adalah menanamkan kesadaran pribadi pada masing-masing anggota dewan. Sehingga, tidak terlintas hasrat untuk melakukan korupsi dan praktek yang menyimpang dari aturan main sesungguhnya. Tapi, hal itu harus ada niat dan komitmen para anggota dewan, sehingga janji yang diucapkan saat pengambilan sumpah Jabatan tidak dilanggar. “Harus ada kesadaran, bahwa keberadaan mereka atas dan oleh karena rakyat. Jadi, suara rakyat tidak sekedar didengar tapi disampaikan lalu diperjuangkan. Namun, untuk mewujudkan hal itu sehingga tidak muncul hasrat korup mesti kesadaran yang benar-benar lahir dari lubuk hati yang dalam, bukan karena dorongan dari pihak lain,” pungkasnya. (KS-09)
COMMENTS