Kota Bima, KS.- Rencana Pemerintah Kota Bima untuk menggelar deklarasi anti terorisme tanggal 19 Juli 2016 mendatang mendapat tanggapan dar...
Kota Bima, KS.- Rencana Pemerintah Kota Bima untuk menggelar deklarasi anti terorisme tanggal 19 Juli 2016 mendatang mendapat tanggapan dari akademisi.
Dosen Universitas 17 Agustus Jakarta, M. Chairil Akbar, SHI, MHI mengatakan, deklarasi seperti rencana Pemerintah Kota Bima ini sudah sangat sering digelar. Namun, dampaknya tidak menurunkan tindakan radikalisasi di Indonesia. Akademisi asal Kota Bima menilai, kegiatan deklarasi hanya simbol dari sikap politik pejabat dan Pemerintah Daerah dalam hal merespon isu maupun kasus radikalisme yang terjadi.
Kata dia, kegiatan ini bisa memancing suasana. Tidak tepat, kalau soal terorisme diselesaikan dengan cara deklarasi.
“Saya khawatir kegiatan ini semakin memperuncing keadaan, menempatkan kelompok-kelompok yang diduga radikal sebagai musuh pemerintah. Efek provokatif dari kegiatan ini pun harus dipertimbangkan,” ujar Magister Hukum Internasional Universitas Gajah Mada itu.
Kata dia, ketimbang mengurus deklarasi anti terorisme, lebih baik pemerintah lebih mendekatkan diri kepada rakyat di bawah. Menurutnya, sudah seberapa jauh pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam membina dan merespon kebutuhan sosial di tengah-tengah masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat yang diduga menganut paham radikal.
“Langkah persuasif dan pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada kelompok masyarakat yang diduga menganut faham radikali adalah upaya yang lebih strategis, ketimbang menggelar acara deklarasi yang sekedar simbol politik pemerintah belaka,” tegas alumni SMAN 1 Kota Bima itu.
Ia melanjutkan, jangankan upaya untuk meminimalisir aksi terorisme, perang antar kampung di Kota Bima masih sering terjadi. Keadaan inipun, lanjut lelaki yang akrab di panggil Wawan itu, adalah bentuk ketidaksanggupan pemerintah dalam mendeteksi dan menyelesaikan masalah sedini mungkin.
“Sering kali, upaya pencegahan dini minim dilakukan oleh pemerintah. Dan pemerintah selalu bekerja ketika keadaan sudah memprihatinkan. Ya karena pemerintah selalu berdiri di atas menara gading dan hanya menonton kehidupan masyarakat di bawahnya,” sindir alumni Fakultas Hubungan Internasional UNHAS Makasar itu.
Kata Wawan, deklarasi ini tidak perlu ada. Pemerintah harus membaur dan hidup bersama rakyat. Jangan ada kesan inklusifitas di antara warga, demikian pula kehidupan antara warga dan pemerintah. Ia pun berharap pemerintah lebih menginstropeksi diri agar selalu menjaga amanah rakyat dengan baik. Sudah saatnya pemerintah harus memberikan rasa percaya dan rasa aman kepada masyarakat hingga hal-hal yang mengandung nilai radikalisme tidak dilakukan oleh sebahagian sekelompok warga.
“Untuk pejabat jangan korupsi, kepala daerah jangan sombong dan aparat hukum jangan arogan. Biasakanlah hidup sederhana bersama rakyat. Hilangkan sikap inklusifitas dan tidak amanah, yang dapat memancing emosi rakyat terhadap pemerintah. Aksi radikalisme oleh kelompok masyarakat bukan karena faham yang anti pancasila, tapi dalam beberapa kasus merupakan antitesis dari prilaku pejabat yang buruk di mata rakyat,” ungkapnya. (KS-008).
COMMENTS