Kota Bima, KS. - Bukan hanya soal sabotase dan mengganti sepihak nama Ahyar Anwar dengan Pemkot Bima selaku pemilik--sebagaimana yang dilaku...
Kota Bima, KS.- Bukan hanya soal sabotase dan mengganti sepihak nama Ahyar Anwar dengan Pemkot Bima selaku pemilik--sebagaimana yang dilakukan oleh Walikota dalam SPPT tanah seluas 54 are di watasan Amahami. Setelah ditelusuri lebih jauh, polemik tanah tersebut, berdasarkan surat yang diterbitkan oleh Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin, kini mulai tercium aroma korupsinya.
Pasalnya, sebagaimana yang tertuang dalam surat Walikota Bima, tanggal 13 November 2014 nomor 180/744/XI/2014 perihal Pengosongan Tanah Amahami yang disampaikannya kepada Bupati Bima. Dalam point pertama surat Walikota itu menerangkan: “Tanah tersebut dikuasai secara riil oleh Pemerintah Kota Bima sejak terbentuknya Kota Bima berdasarkan Undang-undang Nomor 132 tahun 2002, bahkan telah ditimbun dengan menggunakan APBD TA 2011 sebesar Rp834.600.000 (delapan ratus tiga puluh empat juta enam ratus ribu rupiah), namun belum ada penyerahan secara de jure dari Pemerintah Kabupaten Bima kepada Pemerintah Kota Bima. Artinya hak penguasaan secara hukum atas tanah tersebut sampai saat ini masih berada pada Pemerintah Kabupaten Bima.”
Menanggapi surat Walikota tersebut, Muhajirin, SH, Penasehat Hukum Akhyar Anwar menjelaskan, surat Walikota tersebut perlu dikaji lebih mendalam. Dalam surat tersebut, Pemkot Bima mengakui penguasaan secara hukum atas tanah tersebut sampai saat ini masih berada pada Pemerintah Kabupaten Bima. Namun, di sisi lainnya telah mengalokasikan dana lewat APBD TA 2011 sebesar Rp834.600.000 untuk menimbun tanah tersebut.
“Menimbun tanah di atas lahan yang bukan dan atau belum dimiliki secara legal oleh Pemkot Bima dengan menggunakan APBD, tentu ini dikategorikan masuk dalam wilayah dugaan tindak pidana korupsi atau memperkaya orang lain atau pihak lain,” jelasnya.
Senada dengan Muhajirin, partnernya Imran, SH mengungkapkan, baik Pemkot dan Pemkab Bima jelas tidak memiliki hak di atas tanah milik Akhyar itu. Jika pihak pemerintah memiliki hak, tunjukkan sertifikat atau alat bukti kepemilikikan lainnya.
“Pemerintah ini kan mengklaim saja. Baik Pemkab dan Pemkot tidak ada yang punya bukti kepemilikan tanah tersebut. Sedangkan klaen Kami jelas ada sejarah dan bukti kepemilikan tanah tersebut. Cuman SPPTnya saja yang sudah berubah. Diganti sepihak oleh Walikota yang awalnya nama pemilik adalah Ahyar Anwar menjadi Pemerintah Kota Bima,” urainya.
Sebenarnya, sambung Imran, pihak BPN Kota Bima sudah ingin menerbitkan sertifikat tanah tersebut atas nama Ahyar Anwar. Tinggal SPORADIK (Surat Penguasaan Fisik Tanah) saja yang tidak di terbitkan oleh Lurah Dara ats instruksi Walikota, sehingga menghambat proses sertifikat tanah tersebut.
Ia pun menerangkan, kalau pun tanah ini berpolemik dan masuk ke ranah hukum. Bukan Pemerintah Kota Bima yang semestinya bersengketa dengan Ahyar, harusnya Pemkab Bima.
“Saya kira pejabat di Pemkot Bima harus lebih paham tentang persoalan asset dan peraturan di dalamnya. Bukan karena semua tanah Pemkab yang ada di wilayah hukum Pemkot, lalu kemudian di klaim seperti itu saja oleh Pemkot. Tentu ada proses dan serah terima maupun risalah kepemilikannya. Soal asset sudah ada dasar hukum yang jelas, bukan penafsiran dan keinginan oknum pejabat atau Walikota,” pungkas aktivis yang getol melaporkan persoalan korupsi yang ada di Kota maupun di Kabupaten Bima itu.
Ia pun menerangkan, dari asset yang diserahkan oleh Pemkab Bima kepada Pemkot Bima di kawasan Amahami hanya tugu pancasila saja. Bukan semua tanah yang ada di samping tugu itu. Dan tanah di areal itu, masing-masing ada pemiliknya, seperti Ulet Jaya, H. Jakaria bahkan ada tanah milik pejabat di Mahkamah Konstitusi. Pemilik yang lainnya sudah dibebaskan oleh Pemkot. Sedangkan tanah milik Ahyar, pihak Pemkot tidak mau membebaskan tanah tersebut. Terlihat sikap Pemkot Bima ingin menguasai dan mengklaim tanah itu secara gratis saja.
“Kalau pemilik tanah yang lain mau dibebaskan oleh Pemkot. Kenapa tanah milik Ahyar inginnya di kuasai secara gratis, dan dihambat proses penerbitan sporadiknya,” aku Imran yang merasa heran dengan sikap arogan yang diperankan oleh pejabat di Pemkot Bima itu.
Selain itu, sikap Pemkot Bima yang mengklaim tanah itu adalah miliknya dan menimbun lahan tersebut menggunakan APBD, Imran pun mempertanyakan hal tersebut. Kata Dia, Kalau itu memang asset Pemkot, tunjukan risalah tanah atau sertifikatnya. Bukan SPPT yang dirubah sepihak, lalu dikatakan sebagai alat kepemilikan yang sah.
“SPPT itu bukan dokumen kepemilikan yang sah. Inikan cara bodoh pejabat, sudah tau tanah berpolemik dan belum dikuasai secara hukum (belum memiliki sertifikat). Namun, digunakan APBN untuk menimbun lahan tersebut. Kami menilai, uang ratusan juta itu sudah salah sasaran. Apalagi ada rencana mega proyek di kawasan itu. APBD dipakai untuk timbunan lahan, sama halnya menanggulangi kewajiban investor yang ingin membangun usaha di areal itu. Kami menduga ada proyek titipan di balik ini semua,” pungkas Imran.
Ia pun berharap, agar polemik tanah ini tidak berkepanjangan. Pihak Pemkot Bima tidak usah terlalu ngotot ingin menguasai tanah yang bukan miliknya. Apalagi Walikota Bima, atas penguasaan tanah yang dilakukan secara sepihak sudah ditegur oleh Ombusdman RI, Kemendagri bahkan baru-baru ini diperingatkan oleh Komnas HAM.
“Jika, pihak Pemkot masih ingin bertahan. Kasus dugaan korupsi ini pun akan segera kami laporkan ke pihak yang berwajib. Demikian pula dengan dugaan pelanggaran HAM atas kaus ini,” tutup Imran pada Koran Stabilitas, Senin, (1/8).
Sementara itu, pihak Pemkot Bima melalui Kabag Humas dan Protokoler, Ihya Ghazali mengatakan, masalah tanah Ahyar belum sempat dijelaskan oleh Assiste I, sebagai pejabat yang bertanggungjawab terkait masalah itu.
“Pak Assisten I masih di luar Kota. Beliau masih di Mataram, mungkin besok baru tiba di Bima,” ujar Ghazali via ponselnya. (KS-08)
COMMENTS