Bima, KS.- Terkait aksi menggoyang keberadaan PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) dengan metode long march (aksi jalan kaki) masyarakat di...
Bima, KS.- Terkait aksi menggoyang keberadaan PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) dengan metode long march (aksi jalan kaki) masyarakat di Desa Oi Katupa menuju gedung DPRD Kabupaten Bima, pihak manajemen PT. SAKP akhirnya pun angkat bicara.
Dalam releasenya yang disampaikan ke redaksi Koran Stabilitas, Selasa (23/8) kemarin, Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) PT. SAKP Edi Mulyono mengungkapkan, aksi long march warga Desa Oi Katupa diklaimnya bukanlah aksi berjalan kaki sebagaimana yang diungkap oleh Kordinator Umum (Kordum) Arif kurniawan.
“Anggota yang demo hanya berjalan kaki di titik-titik tertentu untuk menarik simpati. Sebagian besar dilakukan dengan menggunakan kendaraan,” ujar Edi.
Ia mengungkapkan, gerakan ini tidak mendapatkan respon positif dari mayoritas warga di Sanggar dan Tambora. Terbukti ketika Kepala Desa dari Desa Taloko, Sandue, Kore, Boro, Oisaro, Kawinda Toi, Kawinda Nae, Oi Panihi, Kenanga dan Oi Bura tidak mau berpartisipasi dan berkontribusi dalam gerakan ini.
“Kami menghimbau kepada warga untuk tidak terprovoksi dan ikut dalam aksi yang mengatasnamakan rakyat di Kecamatan Sanggar dan Tambora ini,” serunya.
Ditambahkannya, warga Desa Oi Katupa yang terlibat dalam aksi ini dikomando langsung oleh Kepala Desa Oi Katupa bersama dengan tim dan teman dekatnya. Kata dia, warga desa yang terlibat diperkirakan oleh Kepala RT dan Kepala Dusun sebanyak 35 orang. “Ada 6 orang diintimidasi untuk ikut dalam gerakan ini. Saya menduga banyak orang di luar Kecamatan Sanggar dan Tambora yang mendominasi dalam aksi ini,” imbuhnya.
Terkait dengan isu penggusuran Tempat Pemakaman Umum (TPU), diakuinya, bahwa hal itu tidak benar. Menurutnya, PT. SAKP telah mengalokasikan areal seluas lebih kurang 1 Ha untuk areal TPU di Desa Oi Katupa.
“Pada saat ini hanya ada 6 makam di atas areal seluas itu. Beberapa bulan lalu karyawan malah ditugaskan untuk membersihkan areal TPU yang terbengkalai dari rumput dan ilalang yang tinggi, bahkan menyemprotkan herbisida utnuk membentuk badan jalan akses menuju makan tersebut dari pinggir jalan,” akunya.
Dia melanjutkan, PT. SAKP prihatin dengan keberadaan warga di Desa Oi Katupa. Menurut Edy, karena upaya dan kepentingan segelintir oknum tertentu yang mengatasnamakan desa. Banyak warga desa yang telah bekerja sebagai karyawan PT SAKP. Mereka juga mempertanyakan apakah mereka bukan lagi warga Desa Oi Katupa.
“Dan apakah aspirasi mereka untuk mempertahankan eksistensi perusahaan tidak masuk dalam perhitungan.Untuk pergerakan ini tidak ada rapat dan rembuk oleh seluruh warga di Desa Oi Katupa,” terang Edy.
Edy pun mengungkapkan masalah dipertanyakannya oleh warga terkait pengunaan dan pertanggungjawaban Alokasi Dana Desa (ADD) kepada Kepala Desa Oi Katupa, pada hari Sabtu, 20 Agustus 2016 lalu. Kata dia, Kades Oi nKatupa tidak dapat dipertanggungjawabkan pertanyaan warga soal ADD. “Kepala Desa Oi Katupa kembali ke desa seteah sekian lama berada di bima. Saat Kades dikonfrontir langsung oleh warga, baik pembangunan fisik maupun pemberdayaan dalam penggunaan ADD, Kades malah melarikan diri dan kembali beberapa hari setelahnya dengan mahasiswa dari Kota Bima,” sorot Edy.
Masalah ADD ini, di Desa Piong, sambung Edy, pada hari Jumat (19/8) lalu, Kepala Desa Piong mengalami hal serupa tentang pertanyaan warga terkait penggunaan ADD. “Karena Kades tidak dapat mempertanggunjawabkan ADD di Desa Piong, warga ingin menyegel kantor Pemerintah Desa setempat,” katanya.
Terkait soal ADD ini, anak Kepala Desa Piong dan Kades Oi Katupa diduga mengkordinir aksi ini sekaligus untuk menutupi tuntutan masyarakat desa terkait penggunaan dan pemanfaatan ADD. “Khusus untuk wilayah di Desa Oi Katupa, oknum penggerak demo ingin mengalihkan masalah mafia tanah. “Oknum tersebut diduga telah menjual lahan secara ilegal kepada berbagai pihak. Saat ini, para pihak meminta pertanggungjawaban atas dana yang telah mereka keluarkan kepada oknum tersebut,” ungkap Edy.
Dilanjutkannya, Kepala Desa Oi Katupa memerintahkan aparat desa dan pendukungnya untuk tidak boleh menerima surat dan tawaran perusahaan terkait lahan yang dialokasikan untuk warga. Hal ini, kata Edy, supaya tetap ada alasan untuk melakukan aksi pergerakan. “Kepala desa mengancam dan menghalang-halangi upaya warga desa untuk bermusyawarah dengan perusahaan. Di satu sisi perusahaan telah menawarkan areal untu warga desa, tetapi di sisi lain Kepala Desa menggagalkan upaya warga utnuk musyawarah dan selalu beretorika dan memainkan isu bahwa perusahaan akan menggusur dan menguasai lahan masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, keberadaan karyawan PT. SAKP pada saat ini berjumlah kurang lebih 450 - 500 orang. Karyawan berasal dari Desa Kore, Oi Saro, Piong, Boro, Oi Katupa dan Kawinda Toi. Kat Edy, ada beberapa karyawan yang berasal dari Bima, Sila dan Donggo. “Karyawan berkomitmen untuk tidak memprovokasi dan tidak diprovoksi oleh isu apapun, tetapi siap mempertahankan eksistensi perusahaan yang menjadi piring-nasi mereka di Sanggar dan Tambora ini,” kata Edy.
Dijelaskannya, keberadaan 450-500 orang karyawan, dengan asumsi tiap orang mempunyai 1 pasangan dan 2 anak, maka terdapat sekitar 1500 orang yang menggantungkan hidupnya dari operasional PT. SAKP di Bima. “Perusahaan ini menjadi motor penggerak ekonomi daerah dan tumpuan hidup ribuan orang,” klaim Edy.
Diakhir releasenya, Edy mengaku, dari komentar masyarakat bahwa demonstrasi yang ada tidak murni memperjuangkan hidup rakyat. Kata dia, demo ini melainkan hanya politik praktis saja. “Pada saat mereka gagal panen dan harga komoditas jauh, tidak ada orang yang berdemo membantu mereka. Dengan tanaman musiman hanya panen setahun sekali sebelum hadirnya PT. SAKP yang memberikan pemasukan atau gaji tiap bulannya, masih di ributkan oleh sebagian kecil warga. Guru honorer dengan honor 200-300 ribu rupiah sebulan juga mengeluh tidak ada demo untuk kenaikan gaji guru honorer,” tutup Edy dalam releasenya yang disampaikan ke redaksi Koran Stabilitas. (KS-08)
COMMENTS