Kota Bima, KS.- Polemik yang terjadi antara pemilik muatan (pedagang) dan pemilik barang di balik tenggelamnya KLM. Duta Mulia milik PT. Sam...
Kota Bima, KS.- Polemik yang terjadi antara pemilik muatan (pedagang) dan pemilik barang di balik tenggelamnya KLM. Duta Mulia milik PT. Samudra Abadi Nusantara (SAN) akhirnya diungkapkan oleh Sahbudin, Direktur perusahaan ekspedisi itu.
“Sebenarnya sejak awal Saya ingin mengklarifikasi persoalan ini di media. Tapi, setelah saya berkordinasi dengan Bos Saya, Pak Adi Kurniawan, baru kami berbicara di media sekarang,” ujar Sahbudin, Kamis dua pekan lalu di kediamannya, di Kelurahan Tanjing Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima.
Ia menjelaskan, sudah kurang lebih sepuluh tahun, pihaknya bekerjasama dengan pedagang hasil bumi di Bima. Selama ini, sistim kerjasama masih dilakukan secara konvensional (tradisional). Pedagang memberitahu muatannya secara lisan, dan langsung diangkut naik ke atas kapal. Soal ongkos muatan, pihaknya tidak menghitung dari berat barang. Tapi, dinilai rata Rp20 ribu per karungnya. Berat muatan sekarung bervariatif antara 30 sampai 35 Kg.
“Bukan baru-baru ini kami mengangkut muatan milik pedagang hasil bumi dari Bima ke Banjarmasin. Hubungan kerjasama Kami sudah sepuluh tahun lamanya. Tentunya, tidak ada niatan Kami secara langsung ingin merugikan pihak mitra. Dan kalaupun di taksir, perusahaan Kami pun mengalami kerugian sekitar Rp5 miliar, sesuai dengan harga pasar dari kapal tersebut. Ini sungguh musibah dan semua pihak pun dirugikan dalam kasus ini,” terang Syahbudin yang ditemani anak buah perusahaannya kepada Koran Stabilitas.
Kata dia, memang saat mengajukan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) ke Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan Bima (KSOP) Bima, pihaknya menyampaikan nilai muatan kapal 155 ton. Dan di atas kapal tentu tidak seberat itu. Bawang merah saja ada sekitar 9.700 karung (berat 35 Kg/karung), belum lagi ditambah dengan muatan hasil bumi lainnya. Dan untuk muatan garam, itu tidak dihitung. Karena keberadaan garam sebagai pemberat yang menyeimbangkan keadaan kapal. “Ini sudah menjadi kebiasaan yang terjadi selama ini,” akunya.
Menurutnya, kemitraan ini sudah ratusan kali dilakukan bersama para pedagang. Dan karena sudah menjadi mitra, soal ongkos muatan semua bisa diatur. Kadang pembayaran dilakukan di muka, dan ada juga pembayaran dilakukan setelah pedagang mendapatkan hasil penjualannya.
Soal asuransi, sambung Sahbudin, karena kapal milik PT. SAN adalah kapal kayu (kapal rakyat), jarang ada pihak asuransi yang mau bekerja sama. Dan akad transaksi degan pemilik muatan, semua dilakukan atas dasar kepercayaan dan dilakukan tanpa ada hitam di atas putih.
“Jika Kami ingin merugikan pedagang, tidak sekarang Kami lakukan. Keadaan tenggelamnya Kapal karena faktor angin kala-kala (bertemunya angin timur dan gelombang dari barat, sehingga melahirkan gelombang setinggi kurang lebih tiga meter). Tidak ada yang menginginkan terjadinya musibah ini. Tapi, apa boleh buat semua sudah menjadi bubur. Kepada para pedagang, kami pun merasakan kerugian yang sama. Cua lembo ade mpa ake. (mari sama-sama bersabar),” tutur Sahbudin diakhiri dengan bahasa daerah Bima itu.
Soal tudingan miring adanya persekongkolan antara Syahbadar dan pihak Ekspedisi, Sahbudin pun membantah adanya isu tersebut. Untuk diketahui, lanjut Dia, kegiatan bongkar muat selama ini tidak dilakukan di pelabuhan bagian utara yang baru dibangun dan dikelola langsung oleh Syahbandar. Selama ini, aktivitas bongkar muat dilakukan di pelabuhan bagian selatan yang di kelola oleh PT. Pelindo II.
“Kami membayar retribusi ke kantor Pelindo. Bukan ke kantor Syahbandar. Tentu biaya retribusinya tidak sama. Kalau biaya ongkos muat melalui pelabuhan yang dikelola langsung oleh Syahbandar hanya Rp550 per ton. Dan kalau di Pelindo, karena dia BUMN, tentu jauh lebih tinggi dari itu. Kami pun harus membayar biaya parkir, jasa gudang bongkar muat, ongkos buruh. Untuk rincian semua biaya ada di dalam, tidak bisa saya langsung jelaskan,” papar dia.
Pada intinya, aku Sahbudin, selama puluhan tahun pihaknya bergelut di usaha bidang jasa ini, semua pihak sangat mengerti dengan kebiasaan bisnis yang ada. Dan sebuah usaha, tentu ada untung dan ruginya. Tidak ada yang ingin rugi, tapi jika itu musibah, ini cobaan bagi semua.
“Walaupun jasa ekspedisi ini menggunakan kapal rakyat (tidak ada asuransi). Kami memiliki 5 kapal yang sudah beroperasi sejak lama di Bima. Selain ingin mencari untung, tentu Kami sangat menjaga kepercayaan dari pemilik muatan,” aku Dia.
Lanjutnya, sudah sekitar 12 tahun KLM. Duta Mulia menjadi kapal angkutan hasil Bumi. Masih ada 4 kapal yang dikelola PT. SAN dan digunakan sebagai jasa angkutan barang-barang lainnya. Menurutnya, soal kondisi kapal masih dalam keadaan layak berlayar. Walau usia kapal ini bisa terbilang tidak muda lagi, tapi tiap tahun tetap dilakukan dok (perawatan) di Surabaya.
“Terakhir KLM. Duta Mulya masuk dok sekitar 10 bulan yang lalu. Dan tenggelamnya kapal ini, Bos saya (Adi Kurniawan) sudah akui bahwa ini bukan faktor kesengajaan. Untungnya, semua ABK kapal selamat. Jika ada yang hilang atau meninggal, tentu semakin berat urusannya,” ujar Budi.
Ke depan, Ia tegaskan, hubungan kerja antara pemilik muatan dengan pihaknya akan ada akad (kontrak) sebagai dasar hukum antara pihak ekspedisi dan pemilik muatan.
“Biar ngak berpolemik terlalu jauh seperti ini, ke depan kita akan buat kesepakatan hitam di atas putih. Semua pedagang tahu, ini kapal rakyat ngak ada asuransinya. Jika ingin menggunakan jasa lewat kapal Kami, ya silahkan, tentu ada resikonya. Kewajiban dan tanggung jawab kita akan sepakati sejak awal. Jelas dalam kontrak itu, Kami akan tegaskan, jika ada musibah tentu bukan menjadi tanggung jawab kami. Sebab, kami pun akan mengalami kerugian jika kapal kenapa-kenapa,” terangnya lagi.
Mengakhiri klarifikasinya ini, Budi mengaku, dari awal tidak ada paksaan kepada para pedagang untuk menggunakan jasa KLM. Duta Mulia. Dan jauh dari niat pihaknya, sengaja ingin menenggelamkan kapal itu. Jika tetap ingin menuntut ganti rugi, PT. SAN yang mengalami kerugian ini pun harus menuntut kemana?
Soal keberadaan Baba Koang, jelas Budi, selama ini Baba Koang adalah mitra perusahaan. Baba Koang sama saja kapasitasnya dengan para pedagang sebagai pemilik muatan yang menggunakan jasa PT. SAN. Mungkin saja karena dari beberapa pedagang kemarin kenal Baba Koang yang memfasilitasi barang muatan selama ini. Sehingga dianggap Baba Koang adalah sebagai pihak pemilik/penanggung jawab. Pemahaman itu keliru. Baba Koang itu mitra. Dia menggunakan jasa kapal PT. SAN untuk memuat barang-barang peralatan rumah tangga dari Surabaya ke Bima.
“Pemilik sebenarnya adalah Pak Adi Kurniawan. Dia tinggal di Surabaya. Saya hanyalah orang yang beliau percaya untuk mengelola asset-assetnya di Bima. Untuk itu, semua pihak diharap bisa mengerti. Dan semua rugi dalam hal ini. Jika Pedagang rugi tuntut ke Kami. Lalu, Kami rugi tuntut ke siapa? Dan jika memang ingin menuntut, semua ada jalurnya. Jangan perang pendapat di media, silahkan ajukan gugatan ke Pengadilan,” tandas Budi mengakhiri wawancaranya dengan Koran Stabilitas. (KS.08)
COMMENTS