Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh negara dalam mensubstitusikan hak dan pihak yang kompeten dalam p...
Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh negara dalam mensubstitusikan hak dan pihak yang kompeten dalam pemberian hak atas tanah di negeri ini. Dalam amanat yang diberikan, tak sedikit masalah pendelegasian hak yang diterbitkan oleh BPN menuai masalah di tengah-tengah masyarakat. Di Bima, masalah sengketa lahan sepertinya selalu saja ada. Kasusnya pun aneh dan di luar akal manusia. Faktornya adalah ulah oknum dan SDM di kantor agraria itu yang ‘error’. Ujungnya, banyak kasus yang merugikan dan seolah mengadu antar warga. Penyelesaiannya pun lambat. Mereka suka melempar kesalahannya, agar pihak yang bersengketa mencari hak dan keadilannya lewat peradilan pidana, perdata maupun tata usaha negara.
Bima, KS.- Sorotan atas kinerja pejabat di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) selalu sama di setiap daerah. Baik di tingkat pusat dan di daerah, konflik agraria seperti masalah laten yang selalu ada. Menurut Ketua Aliansi Perjuangan Independen (API) Nusa Tenggara Barat (NTB), Sudirman alias Topan, masalahnya bukan saja disistim tapi dominan karena human error yang ada di kantor yang membidangi soal agraria di negeri ini.
Topan menjelaskan, dalam melakukan pemberian hak baik sifatnya hak milik, guna usaha dan hak-hak yang menjadi kewenangan pihak BPN, petugas dan pejabat agraria harus benar-benar bekerja di atas ketentuan dan rel aturan yang ada. Kebiasaan pemberian dan dijanjikan fee atau bagian dari pemilik lahan agar dipermudah pemberian hak (sertifikat, red), selalu menjadi modus operandi soal agraria.
“Kebiasaan-kebiasaan lama pejabat agraria tempo dulu. Atas kewenangan yang diberikan oleh negara dalam mensubstitusikan hak kepada warga/lembaga/perusahaan, dengan mengharap iming-iming atau sesuatu harus segera dihentikan,” tegas dia dalam kunjungannya ke kantor redaksi Koran Stabilitas belum lama ini.
Dipaparkannya, reformasi agraria yang menjadi prioritas program di negara ini, harus dilakukan secara massif dan mendasar khusus bagi petugas dan lebih-lebih kepada pejabat di bidang agraria.
“Ini penting, karena dosa mereka di masa lalu, akan melahirkan malapetaka bukan saja di internal kantor agraria. Parahnya, akan membuat susah bagi masyarakat di kemudian harinya. Antara pemegang hak yang sebenarnya dan yang mendapatkan hak karena ‘bermain mata’ dengan oknum pejabat agraria. Akhirnya, pihak yang merasadirugikan sibuk mencari keadilan di lembaga peradilan,” tandas dia.
Di Kota dan Kabupaten Bima, karena permainan oknum pejabat BPN di masa lalu. Berimbas pada kondisi masyarakat yang terpaksa dihadapkan dengan masalah hukum bidang agraria. Sudah banyak kasus yang terjadi lantaran keteledoran dan tidak profesionalnya pejabat agraria.
“Kasus saat ini karena kecerobahan dan keteledoran BPN yang bisa kita saksikan adalah kasus Tanah milik Yasim Bima versus Kepala Desa Madawau yang kini tengah disidangkan di PTUN Mataram. Kasus tanah di Desa Runggu yang nama pemilik sertifikatnya baru berusia 9 tahun di tahun 2009 lalgi. Parahnya dari kebobrokkan yang ada di BPN adalah penderitaan warga Desa Oi Katupa Kecamatan Tambora saat ini,” sebutnay
Dikatakannya, saat diterbitkannya HGU kepada PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) oleh pejabat agraria ditahun 1990-an. Di tengah perjalanan, kontrol dan ketegasan pejabat Agraria, saat pembiaran lahan oleh PT. SAKP adalah kesalahan fatal dan bisa dikatakan sebagai ‘dosa’ BPN. Pembiaran BPN menghidupkan HGU lahan terlantar hingga tahun 2032 yang semestinya terpenuhi syarat pencabutan HGU akibat penelantaran lahan, status tanah saat ini tidak menuai sengketa antara rakyat dan PT. SAKP.
“Jangan menggantung HGU. Kalau HGU itu dicabut karena perusahaan melakukan pembiaran dan oleh masyarakat dimanfaatkan lahan tersebut hingga akhirnya menjadi sebuah dosa. Kita lihat betapa BPN tidak paham atas tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang membidangi soal agrari,” sentilnya.
Harusnya, menurut aktivis asal Ibukota ini, BPN harus menjadi lembaga yang sangat bertanggung jawab. HGU itu mereka yang berikan. Dan pengawasan di atas lahan HGU tidak dilakukan. Akhirnya, ketidakpekaan dan kebodohan BPN, seperti membuat jurang bagi semua pihak. Dan lagi-lagi rakyat yang dikorbankan akibat keserakahan dan kebodohan pejabat negeri ini,” sorot dia dengan tajam dan lantang.
Sementara itu, pihak BPN Kabupaten Bima, lewat Kepala Seksi Bidang Sengketa, Hasan, SH soal sengketa lahan yang ada selama ini. Pihaknya tetap berusaha memediasi kedua belah pihak. Dan jika dianggap dan hasil penyelidikan petugas ditemukan perihak kejanggalan atau cacat secara administrasinya, tentu BPN akan menerbitkan SK pencabutan hak milik (sertifikat).
“Kami sudah berbuat di atas aturan atas masalah sengketa agraria atas penerbitan-penerbitan sertifikat di masa lalu. Jika masih ada pihak yang merasa dirugikan. Cara satu-satunya di negara kita ini, silahkan mencari keadilan lewat meja hijau atau pengadilan,” ujar Hasan di kantornya, Rabu (5/9) pekan lalu.
Senada dengan Hasan, Kepala BPN Kabupaten Bima, Said Asa, SH, MH mengatakan, dalam melaksanakan tanggung jawabnya, khusus di BPN Kabupaten Bima akan terus membenahi diri dan melayani masyarakat sesuai dengan ketentuan yang diatur di negara ini.
“Sebentar lagi saya juga pensiun. Dan kami tidak ingin bermain dan mencari dosa soal urusan dengan tanah. Yah, kalau sudah mati. Kita semua akan kembali ke tanah. Kami tidak berani. Dan semua masalah tentu akan kami pelajari dalam mencari solusi terbaik sesuai dengan kaidah dan peraturan di negara kita ini,” ujar Said Asa yang ditemui di kediamannya yang di kontrak bersama keluarganya di bilangan jalan Soedirman, Kelurahan Rabangodu Selatan, Kota Bima, belum lama ini. (Ag-04)
Ilustrasi |
Topan menjelaskan, dalam melakukan pemberian hak baik sifatnya hak milik, guna usaha dan hak-hak yang menjadi kewenangan pihak BPN, petugas dan pejabat agraria harus benar-benar bekerja di atas ketentuan dan rel aturan yang ada. Kebiasaan pemberian dan dijanjikan fee atau bagian dari pemilik lahan agar dipermudah pemberian hak (sertifikat, red), selalu menjadi modus operandi soal agraria.
“Kebiasaan-kebiasaan lama pejabat agraria tempo dulu. Atas kewenangan yang diberikan oleh negara dalam mensubstitusikan hak kepada warga/lembaga/perusahaan, dengan mengharap iming-iming atau sesuatu harus segera dihentikan,” tegas dia dalam kunjungannya ke kantor redaksi Koran Stabilitas belum lama ini.
Dipaparkannya, reformasi agraria yang menjadi prioritas program di negara ini, harus dilakukan secara massif dan mendasar khusus bagi petugas dan lebih-lebih kepada pejabat di bidang agraria.
“Ini penting, karena dosa mereka di masa lalu, akan melahirkan malapetaka bukan saja di internal kantor agraria. Parahnya, akan membuat susah bagi masyarakat di kemudian harinya. Antara pemegang hak yang sebenarnya dan yang mendapatkan hak karena ‘bermain mata’ dengan oknum pejabat agraria. Akhirnya, pihak yang merasadirugikan sibuk mencari keadilan di lembaga peradilan,” tandas dia.
Di Kota dan Kabupaten Bima, karena permainan oknum pejabat BPN di masa lalu. Berimbas pada kondisi masyarakat yang terpaksa dihadapkan dengan masalah hukum bidang agraria. Sudah banyak kasus yang terjadi lantaran keteledoran dan tidak profesionalnya pejabat agraria.
“Kasus saat ini karena kecerobahan dan keteledoran BPN yang bisa kita saksikan adalah kasus Tanah milik Yasim Bima versus Kepala Desa Madawau yang kini tengah disidangkan di PTUN Mataram. Kasus tanah di Desa Runggu yang nama pemilik sertifikatnya baru berusia 9 tahun di tahun 2009 lalgi. Parahnya dari kebobrokkan yang ada di BPN adalah penderitaan warga Desa Oi Katupa Kecamatan Tambora saat ini,” sebutnay
Dikatakannya, saat diterbitkannya HGU kepada PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) oleh pejabat agraria ditahun 1990-an. Di tengah perjalanan, kontrol dan ketegasan pejabat Agraria, saat pembiaran lahan oleh PT. SAKP adalah kesalahan fatal dan bisa dikatakan sebagai ‘dosa’ BPN. Pembiaran BPN menghidupkan HGU lahan terlantar hingga tahun 2032 yang semestinya terpenuhi syarat pencabutan HGU akibat penelantaran lahan, status tanah saat ini tidak menuai sengketa antara rakyat dan PT. SAKP.
“Jangan menggantung HGU. Kalau HGU itu dicabut karena perusahaan melakukan pembiaran dan oleh masyarakat dimanfaatkan lahan tersebut hingga akhirnya menjadi sebuah dosa. Kita lihat betapa BPN tidak paham atas tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang membidangi soal agrari,” sentilnya.
Harusnya, menurut aktivis asal Ibukota ini, BPN harus menjadi lembaga yang sangat bertanggung jawab. HGU itu mereka yang berikan. Dan pengawasan di atas lahan HGU tidak dilakukan. Akhirnya, ketidakpekaan dan kebodohan BPN, seperti membuat jurang bagi semua pihak. Dan lagi-lagi rakyat yang dikorbankan akibat keserakahan dan kebodohan pejabat negeri ini,” sorot dia dengan tajam dan lantang.
Sementara itu, pihak BPN Kabupaten Bima, lewat Kepala Seksi Bidang Sengketa, Hasan, SH soal sengketa lahan yang ada selama ini. Pihaknya tetap berusaha memediasi kedua belah pihak. Dan jika dianggap dan hasil penyelidikan petugas ditemukan perihak kejanggalan atau cacat secara administrasinya, tentu BPN akan menerbitkan SK pencabutan hak milik (sertifikat).
“Kami sudah berbuat di atas aturan atas masalah sengketa agraria atas penerbitan-penerbitan sertifikat di masa lalu. Jika masih ada pihak yang merasa dirugikan. Cara satu-satunya di negara kita ini, silahkan mencari keadilan lewat meja hijau atau pengadilan,” ujar Hasan di kantornya, Rabu (5/9) pekan lalu.
Senada dengan Hasan, Kepala BPN Kabupaten Bima, Said Asa, SH, MH mengatakan, dalam melaksanakan tanggung jawabnya, khusus di BPN Kabupaten Bima akan terus membenahi diri dan melayani masyarakat sesuai dengan ketentuan yang diatur di negara ini.
“Sebentar lagi saya juga pensiun. Dan kami tidak ingin bermain dan mencari dosa soal urusan dengan tanah. Yah, kalau sudah mati. Kita semua akan kembali ke tanah. Kami tidak berani. Dan semua masalah tentu akan kami pelajari dalam mencari solusi terbaik sesuai dengan kaidah dan peraturan di negara kita ini,” ujar Said Asa yang ditemui di kediamannya yang di kontrak bersama keluarganya di bilangan jalan Soedirman, Kelurahan Rabangodu Selatan, Kota Bima, belum lama ini. (Ag-04)
COMMENTS