Kisah ini mungkin tabu dipublikasikan. Tapi, banyak kisah yang harus menjadi pelajaran hidup untuk generasi selanjutnya. Cerita ini mengangk...
Kisah ini mungkin tabu dipublikasikan. Tapi, banyak kisah yang harus menjadi pelajaran hidup untuk generasi selanjutnya. Cerita ini mengangkat objek tentang Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah kebun seluas 26 are di Desa Runggu, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima. Tanah milik Drs. H. Ikhsan M. Said (62) ternyata dalam legalitas kepemilikannya kini menuai prahara.
Bima, KS.- Pasalnya, almarhum mertua H. Iksan, di tahun 2009 lalu, diduga membagi sertifikat tanah menjadi tiga bagian. SHM atas nama H. Iksan (Menantunya) dan dua anak kandungnya. Munculnya tiga SHM tersebut baru-baru ini diketahuinya. Iksan pun terkejut dan ingin memperkarakan masalah ini. Soalnya pula, tanah tersebut akan ada biaya ganti rugi. Pemkab Bima menyiapkan dana puluhan juta dibalik proyek normalisasi sungai yang mengambil lahan tersebut. Bagaimana cerita detailnya?
Perseteruan antara Drs. H. Iksan M. Said dengan keluarga almarhum istrinya tak lagi bisa menempuh kata sepakat dan damai. Sebelumnya, sepeninggalan istri tercinta, H. Iksan digugat oleh mertuanya di Pengadilan Negeri Agama. Bersama almarhum istri tercinta, H. Ikhsan yang sudah menjadi bendahara PGRI Kabupaten Bima tiga periode ini kurang beruntung dalam hal keturunan. Karena itu, soal harta gono-gini sepeninggalan istrinya menjadi dasar pihak mertuanya, H. M. Said bersama anak-anaknya menggugat dia. Akhirnya, hakim PA Bima meberikan 25% kepada mertuanya dan sisanya menjadi milik H. Iksan.
Perseteruan itu kembali ada. Objeknya tanah perkebunan di Desa Runggu, Kabupaten Bima. Kata H. Iksan, pada tanggal 13 Agustus 1996, dia membeli sebidang tanah dengan luas 26 are kepada saudara mertuanya almarhum H. Jamaludin Haka.
“Oleh orang tua mertua saya sudah dibagikan warisan mereka. Dan milik H. Jamaludin Haka (Adik mertua saya), tanah kebun seluas 26 are saya beli dengan harga Rp1 juta. Surat jual belinya ada. Diketahui Kepala Desa maupun anak-anak dari H. Jamaludin. Saat ini, SPPT tanah itu pun masih nama saya dan terdaftar di buku desa,” urai pensiunan guru itu, di kediamannya, Jum’at (30/9).
Kata dia, setalah membeli tanah itu. Dirinya mempercayakan kepada mertuanya untuk mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah tersebut. Karena percaya, setelah jadi SHM itu disimpan begitu saja.
“Pembuatan SHM ini pada tahun 2009 lalu. Karena percaya, sertifikat ini saya simpan saja,” katanya sambil terus ingin bercerita.
Lanjut H. Ikhsan, masalah ini muncul ketika program normalisasi sungai di tahun 2016 ini. Tiba-tiba saja, ada pihak lain yang ingin mengambil biaya ganti rugi dari pemerintah sebagai kompensasi pemanfaatan lahan proyek tersebut. Setelah diselidiki, ternyata di atas tanah miliknya, oleh almarhum mertuanya (H. M. Said, red) dibuat sertifikat tersebut menjadi tiga SHM.
“Atas nama saya dan atas nama dua anak kandungnya yang besaran luasnya masing-masing 4 are,” sebut dia.
Mengetahui hal ini, H. Ikhsan tentu tak rela. Dirinya mengajukan keberatan ke Pemerintah Kabupaten Bima. Ia kembali bercerita dan mengaku dirinya tertipu oleh almarhum mertuanya.
“Tidak ada kesepakatan atau pemberitahuan bahwa di atas tanah saya yang dibeli dari almarhum H. Jamaludin dibagi untuk orang lain. Dan jelas, dua sertifikat atas nama Humam dan Edi di atas tanah saya itu tidak jelas asal-usul kepemilikan tanahnya. Saya tidak tinggal diam untuk hal ini,” ujar H. Ikhasan dengan naga tegas.
Dijelaskannya, dalam kohir peta tanah di Desa, tanah kebun miliknya ditandai dengan nomor 77. Dan batas timur adalah sungai, bukan tanah. Artinya, dua SHM abal-abal di atas tahan kebunnya adalah tanah miliknya. SHM itu dibuat sepihak oleh almarhum mertua saya yang dipercayakan mengurus sertifikat kala itu.
“Mungkin mereka lupa, bahwa tanah yang saya beli pada almarhum H. Jamaludin ada surat perjanjian jual belinya. Dan datanya masih ada di Desa. Bahkan salah satu diantara dua sertifikat ‘abal-abal’ itu, ada pemalsuan data di dalamnya,” pungkas dia semakin semangat saja.
Dua SHM ‘abal-abal’ itu, sambung H. Ikhsan, tertuang nama Muhammad Humam (keponakannya atau cucu H. M. Said) dan Edi Sumardin (saudara istrinya). “Mereka bukan pemilik tanah itu, SHM atas nama mereka karena mertua saya sengaja membaginya kepada dua anak kandungnya di luar sepengetahuan saya. Dan yang tertera nama Muhammad Humam, karena Bapaknya Humam sudah meninggal, sedangkan Ibunya sudah kembali ke Jawa,” terang dia yang tak tega sebenarnya mengungkap ini semua.
Diakuinya, khusus untuk Muhammad Humam, sejak balita Humam sudah dibesarkannya hingga beranjak dewasa. Entah karena pengaruh siapa, duga H. Ikhsan, sehingga Humam keluar dari rumahnya. Sepengetahuannya, saat ini Humam tinggal bersama neneknya dan dia masih duduk di bangku SMA.
“Seandainya Humam masih tinggal dengan Saya, tentu saya akan rela memberikan tanah tersebut kepada dia. Tapi, karena sudah keluar rumah. Maka penting untuk diungkap siapa yang memperkeruh keadaan dan semua masalah yang ada,” ungkap H. Ikhsan sambil sesekali menyerumput kopi hitam yang disajikan istri barunya.
Dia pun mengungkap kejanggalan sertifikat atas nama Muhammad Humam. Menurutnya, pembuatan SHM nomor 908 tahun 2009 oleh BPN Kabupaten Biima atas nama pemegang hak Muhammad Humam itu diduga kuat tanggal lahirnya dipalsukan.
“Humam lahir tahun 2000 sesuai dengan akte kelahirannya maupun dalam kartu keluarga. Sedangkan dalam SHM dimasukkan tahun 1990. Artinya, pada saat SHM dibuat Humam baru berusia 9 tahun. Mana ada pemegang hak diusia 9 tahun dalam peraturan agraria negara ini. Semua datanya ada sama saya. Karena dia pernah tinggal dan memang saya yang membesarkannya,” pungkasnya.
Diakuinya, baru-baru ini, pihak BPN Kabupaten Bima melakukan mediasi antara dirinya, Humam dan Edi Sumardin (Ipar H. Iksan dan Pamannya Humam). Menurut BPN, kami bertiga yang memiliki lahan di atas 26 are. Setelah ditunjukkan kohir tanah, pihak BPN pun tak lagi bisa berkata apa-apa.
“Karena pada kohir nomor 77 tidak ada tanah yang yang dibagi. Tapi satu bidang yang batas timurnya adalah sungai. SPPT tanah tersebut pun hanya nama saya hingga tahun 2016 ini,” ujarnya.
Semestinya, H. Ikhsan menegaskan, untuk biaya ganti rugi lahan dari kompensasi proyek normalisasi sungai, pihak yang berhak menerima adalah dirinya.
“Tidak ada hak orang lain yang menerima biaya ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Bima sebagai kompensasi proyek normalisasi sungai. Itu jelas tanah saya yang dimanfaatkan oleh pemerintah. Mereka cuman nama saja dalam SHM, itupun proses pembuatan SHM yang diterbitkan BPN cacat administrasinya,” tandas dia.
Sementara itu, Kepala BPN Kabupaten Bima, Said Asa, SH, MH mengungkapkan, masalah ini akan ditindaklanjutinya. Jika proses mediasi sudah dilaksanakan, dirinya akan menanyakan hasilnya kepada anak buahnya.
“Nanti saya akan tanyakan ke Pak Hasan selaku Kepala Seksi terkait persoalan tersebut. Untuk kepastiannya, tentu akan kami proses dan periksa masalah terlebih dahulu,” kata dia, di ruang kerjanya, Jum’at (30/9).
Ditambahkannya, kepada para pihak yang merasa dirugikan atas penerbitan SHM oleh BPN Kabupaten Bima, bisa memberikan surat keberatan atas masalahnya.
“Kami menunggu surat keberatan dari H. Ikhsan dan soal hasilnya, kami akan sampaikan setelah proses pemeriksaan dilakukan,” ungkap Said standar saja dan kesannya akan menyelesaikan masalah ini dengan segera. (Ag-04)
Bima, KS.- Pasalnya, almarhum mertua H. Iksan, di tahun 2009 lalu, diduga membagi sertifikat tanah menjadi tiga bagian. SHM atas nama H. Iksan (Menantunya) dan dua anak kandungnya. Munculnya tiga SHM tersebut baru-baru ini diketahuinya. Iksan pun terkejut dan ingin memperkarakan masalah ini. Soalnya pula, tanah tersebut akan ada biaya ganti rugi. Pemkab Bima menyiapkan dana puluhan juta dibalik proyek normalisasi sungai yang mengambil lahan tersebut. Bagaimana cerita detailnya?
Perseteruan antara Drs. H. Iksan M. Said dengan keluarga almarhum istrinya tak lagi bisa menempuh kata sepakat dan damai. Sebelumnya, sepeninggalan istri tercinta, H. Iksan digugat oleh mertuanya di Pengadilan Negeri Agama. Bersama almarhum istri tercinta, H. Ikhsan yang sudah menjadi bendahara PGRI Kabupaten Bima tiga periode ini kurang beruntung dalam hal keturunan. Karena itu, soal harta gono-gini sepeninggalan istrinya menjadi dasar pihak mertuanya, H. M. Said bersama anak-anaknya menggugat dia. Akhirnya, hakim PA Bima meberikan 25% kepada mertuanya dan sisanya menjadi milik H. Iksan.
Perseteruan itu kembali ada. Objeknya tanah perkebunan di Desa Runggu, Kabupaten Bima. Kata H. Iksan, pada tanggal 13 Agustus 1996, dia membeli sebidang tanah dengan luas 26 are kepada saudara mertuanya almarhum H. Jamaludin Haka.
“Oleh orang tua mertua saya sudah dibagikan warisan mereka. Dan milik H. Jamaludin Haka (Adik mertua saya), tanah kebun seluas 26 are saya beli dengan harga Rp1 juta. Surat jual belinya ada. Diketahui Kepala Desa maupun anak-anak dari H. Jamaludin. Saat ini, SPPT tanah itu pun masih nama saya dan terdaftar di buku desa,” urai pensiunan guru itu, di kediamannya, Jum’at (30/9).
Kata dia, setalah membeli tanah itu. Dirinya mempercayakan kepada mertuanya untuk mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah tersebut. Karena percaya, setelah jadi SHM itu disimpan begitu saja.
“Pembuatan SHM ini pada tahun 2009 lalu. Karena percaya, sertifikat ini saya simpan saja,” katanya sambil terus ingin bercerita.
Lanjut H. Ikhsan, masalah ini muncul ketika program normalisasi sungai di tahun 2016 ini. Tiba-tiba saja, ada pihak lain yang ingin mengambil biaya ganti rugi dari pemerintah sebagai kompensasi pemanfaatan lahan proyek tersebut. Setelah diselidiki, ternyata di atas tanah miliknya, oleh almarhum mertuanya (H. M. Said, red) dibuat sertifikat tersebut menjadi tiga SHM.
“Atas nama saya dan atas nama dua anak kandungnya yang besaran luasnya masing-masing 4 are,” sebut dia.
Mengetahui hal ini, H. Ikhsan tentu tak rela. Dirinya mengajukan keberatan ke Pemerintah Kabupaten Bima. Ia kembali bercerita dan mengaku dirinya tertipu oleh almarhum mertuanya.
“Tidak ada kesepakatan atau pemberitahuan bahwa di atas tanah saya yang dibeli dari almarhum H. Jamaludin dibagi untuk orang lain. Dan jelas, dua sertifikat atas nama Humam dan Edi di atas tanah saya itu tidak jelas asal-usul kepemilikan tanahnya. Saya tidak tinggal diam untuk hal ini,” ujar H. Ikhasan dengan naga tegas.
Dijelaskannya, dalam kohir peta tanah di Desa, tanah kebun miliknya ditandai dengan nomor 77. Dan batas timur adalah sungai, bukan tanah. Artinya, dua SHM abal-abal di atas tahan kebunnya adalah tanah miliknya. SHM itu dibuat sepihak oleh almarhum mertua saya yang dipercayakan mengurus sertifikat kala itu.
“Mungkin mereka lupa, bahwa tanah yang saya beli pada almarhum H. Jamaludin ada surat perjanjian jual belinya. Dan datanya masih ada di Desa. Bahkan salah satu diantara dua sertifikat ‘abal-abal’ itu, ada pemalsuan data di dalamnya,” pungkas dia semakin semangat saja.
Dua SHM ‘abal-abal’ itu, sambung H. Ikhsan, tertuang nama Muhammad Humam (keponakannya atau cucu H. M. Said) dan Edi Sumardin (saudara istrinya). “Mereka bukan pemilik tanah itu, SHM atas nama mereka karena mertua saya sengaja membaginya kepada dua anak kandungnya di luar sepengetahuan saya. Dan yang tertera nama Muhammad Humam, karena Bapaknya Humam sudah meninggal, sedangkan Ibunya sudah kembali ke Jawa,” terang dia yang tak tega sebenarnya mengungkap ini semua.
Diakuinya, khusus untuk Muhammad Humam, sejak balita Humam sudah dibesarkannya hingga beranjak dewasa. Entah karena pengaruh siapa, duga H. Ikhsan, sehingga Humam keluar dari rumahnya. Sepengetahuannya, saat ini Humam tinggal bersama neneknya dan dia masih duduk di bangku SMA.
“Seandainya Humam masih tinggal dengan Saya, tentu saya akan rela memberikan tanah tersebut kepada dia. Tapi, karena sudah keluar rumah. Maka penting untuk diungkap siapa yang memperkeruh keadaan dan semua masalah yang ada,” ungkap H. Ikhsan sambil sesekali menyerumput kopi hitam yang disajikan istri barunya.
Dia pun mengungkap kejanggalan sertifikat atas nama Muhammad Humam. Menurutnya, pembuatan SHM nomor 908 tahun 2009 oleh BPN Kabupaten Biima atas nama pemegang hak Muhammad Humam itu diduga kuat tanggal lahirnya dipalsukan.
“Humam lahir tahun 2000 sesuai dengan akte kelahirannya maupun dalam kartu keluarga. Sedangkan dalam SHM dimasukkan tahun 1990. Artinya, pada saat SHM dibuat Humam baru berusia 9 tahun. Mana ada pemegang hak diusia 9 tahun dalam peraturan agraria negara ini. Semua datanya ada sama saya. Karena dia pernah tinggal dan memang saya yang membesarkannya,” pungkasnya.
Diakuinya, baru-baru ini, pihak BPN Kabupaten Bima melakukan mediasi antara dirinya, Humam dan Edi Sumardin (Ipar H. Iksan dan Pamannya Humam). Menurut BPN, kami bertiga yang memiliki lahan di atas 26 are. Setelah ditunjukkan kohir tanah, pihak BPN pun tak lagi bisa berkata apa-apa.
“Karena pada kohir nomor 77 tidak ada tanah yang yang dibagi. Tapi satu bidang yang batas timurnya adalah sungai. SPPT tanah tersebut pun hanya nama saya hingga tahun 2016 ini,” ujarnya.
Semestinya, H. Ikhsan menegaskan, untuk biaya ganti rugi lahan dari kompensasi proyek normalisasi sungai, pihak yang berhak menerima adalah dirinya.
“Tidak ada hak orang lain yang menerima biaya ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Bima sebagai kompensasi proyek normalisasi sungai. Itu jelas tanah saya yang dimanfaatkan oleh pemerintah. Mereka cuman nama saja dalam SHM, itupun proses pembuatan SHM yang diterbitkan BPN cacat administrasinya,” tandas dia.
Sementara itu, Kepala BPN Kabupaten Bima, Said Asa, SH, MH mengungkapkan, masalah ini akan ditindaklanjutinya. Jika proses mediasi sudah dilaksanakan, dirinya akan menanyakan hasilnya kepada anak buahnya.
“Nanti saya akan tanyakan ke Pak Hasan selaku Kepala Seksi terkait persoalan tersebut. Untuk kepastiannya, tentu akan kami proses dan periksa masalah terlebih dahulu,” kata dia, di ruang kerjanya, Jum’at (30/9).
Ditambahkannya, kepada para pihak yang merasa dirugikan atas penerbitan SHM oleh BPN Kabupaten Bima, bisa memberikan surat keberatan atas masalahnya.
“Kami menunggu surat keberatan dari H. Ikhsan dan soal hasilnya, kami akan sampaikan setelah proses pemeriksaan dilakukan,” ungkap Said standar saja dan kesannya akan menyelesaikan masalah ini dengan segera. (Ag-04)
COMMENTS