Tahun 2017, Negara mengalokasikan Anggaran sebesar Rp.9,5 Milyar untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima. Namun, dana untuk proyek pengadaa...
Tahun 2017, Negara mengalokasikan Anggaran sebesar Rp.9,5 Milyar untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima. Namun, dana untuk proyek pengadaan benih kedelai melalui Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Holtikultura (Dispertapa) itu menuai masalah. Mulai dari kualitas benih hingga dugaan Kelompok Fiktif. Bahkan, ada dugaan praktek yang melanggar hukum dibalik proyek yang menghabiskan Uang Negara bernilai fantastik tersebut.
BIMA, KS. – Temuan dalam kaitan itu berdasarkan hasil investigasi Komisi II DPRD Kabupaten Bima di Dinas Pertanian Provinsi NTB. Menurut, Edi Mukhlis, S.Sos Sektretaris Komisi II, dugaan pelanggaran teridentifikasi pada total anggaran untuk proyek.”Berdasarkan pengakuan Kepala Bidang (Kabid), Mansyur, jumlah anggaran hanya Rp.6,5 M. Tapi faktanya bukan sebesar itu, melainkan Rp.9,5 M. Jumlah itu sesuai hasil investigasi saya, kemudian diperkuat dengan keterangan pihak Dinas Provinsi NTB. Bahkan, anggaran Rp.9,5 M sudah dicairkan semua ke kelompok penerima bantuan tersebut,” ungkap Edi kepada Koran Stabilitas Senin (30/4) di Kantor DPRD.
Jika mengacu pada persoalan itu, tak heran apabila muncul beragam pertanyaan dan asumsi miring. Hingga bahkan aroma tidak sedap dibalik proyek tersebut. Masalahnya, terdapat selisih cukup besar antara angka Rp.6,5 M dengan Rp.9,5 M.”Selisihnya mencapai Rp.2,8 M. Kalau benar demikian, kemana, untuk siapa dan diperuntukan untuk apa Uang sebesar itu. Sebab, total anggaran Negara guna proyek itu bukan RP.6,7 M, tapi Rp.9,5 M,” bebernya.
Berdasarkan aturan sebut Politisi asal Desa Laju Kecamatan Langgudu itu, besarnya alokasi anggaran sesuai jumlah luas Lahan yang diusulkan. Hitungannya, yakni Rp.940 Ribu per Hektar, sementara luas lahan yang dilaporkan hingga mencapai 100 H lebih per Kelompok. Bayangkan saja, berapa Uang Negara yang dihabiskan.”Itu berdasarkan keterangan Dinas Provinsi dihadapan kami Komisi II DPRD. Kalau luasnya sebesar itu per kelompok, data darimana itu.Karena itu, saya menduga kuat telah terjadi rekayasa data luas lahan termasuk kelompok fiktif,” tandasnya.
Praktek semacam ini tergolong sistimatis, mulai dari tingkat UPT Pertanian Kecamatan hingga Dinas Kabupaten. Misalnya,jumlah kelompok yang terigistrasi sekitar 10 kelompok tani (Poktan). Tahap berikutnya, menyusul 10 poktan baru dengan lokasi atau Desa yang sama.”Setelah Uangnya masuk ke rekening masing-masing poktan, Buku Rekening kemudian dikumpulkan kembali oleh K-UPT. Nah, disitulah berlangsung dugaan permainan dalam proyek tersebut,” terangnya.
Atas temuan itu, pihaknya akan memanggil pihak Dispertapa untuk ketiga kalinya. Jika, dalam panggilan ini tidak diindahkan, maka pihaknya mengancam menggunakan aturan seperti yang tercantum dalam Undang – Undang (UU) MD3. Salah satu pointnya, merekomendasikan hasil temuan dimaksud kepada Institusi Penegak Hukum.”Ini bukan sekedar ancaman, tapi benar-benar akan kami lakukan. Langkah seperti ini teramat penting dan harus dilakukan, agar ada efek jerah bagi oknum tak bertanggungjawab. Kami di komisi II sudah sepakat memberlakukan UU MD3. Soal tidak adanya persetujuan Ketua Komisi II, Ir Suryadin, saya sudah menyarankan agar beliau mengundurkan diri dari jabatan ketua Komisi. Saya kira itu lebih terhormat,” pungkasnya. (KS-Anh)
Edi Mukhlis, S.Sos |
BIMA, KS. – Temuan dalam kaitan itu berdasarkan hasil investigasi Komisi II DPRD Kabupaten Bima di Dinas Pertanian Provinsi NTB. Menurut, Edi Mukhlis, S.Sos Sektretaris Komisi II, dugaan pelanggaran teridentifikasi pada total anggaran untuk proyek.”Berdasarkan pengakuan Kepala Bidang (Kabid), Mansyur, jumlah anggaran hanya Rp.6,5 M. Tapi faktanya bukan sebesar itu, melainkan Rp.9,5 M. Jumlah itu sesuai hasil investigasi saya, kemudian diperkuat dengan keterangan pihak Dinas Provinsi NTB. Bahkan, anggaran Rp.9,5 M sudah dicairkan semua ke kelompok penerima bantuan tersebut,” ungkap Edi kepada Koran Stabilitas Senin (30/4) di Kantor DPRD.
Jika mengacu pada persoalan itu, tak heran apabila muncul beragam pertanyaan dan asumsi miring. Hingga bahkan aroma tidak sedap dibalik proyek tersebut. Masalahnya, terdapat selisih cukup besar antara angka Rp.6,5 M dengan Rp.9,5 M.”Selisihnya mencapai Rp.2,8 M. Kalau benar demikian, kemana, untuk siapa dan diperuntukan untuk apa Uang sebesar itu. Sebab, total anggaran Negara guna proyek itu bukan RP.6,7 M, tapi Rp.9,5 M,” bebernya.
Berdasarkan aturan sebut Politisi asal Desa Laju Kecamatan Langgudu itu, besarnya alokasi anggaran sesuai jumlah luas Lahan yang diusulkan. Hitungannya, yakni Rp.940 Ribu per Hektar, sementara luas lahan yang dilaporkan hingga mencapai 100 H lebih per Kelompok. Bayangkan saja, berapa Uang Negara yang dihabiskan.”Itu berdasarkan keterangan Dinas Provinsi dihadapan kami Komisi II DPRD. Kalau luasnya sebesar itu per kelompok, data darimana itu.Karena itu, saya menduga kuat telah terjadi rekayasa data luas lahan termasuk kelompok fiktif,” tandasnya.
Praktek semacam ini tergolong sistimatis, mulai dari tingkat UPT Pertanian Kecamatan hingga Dinas Kabupaten. Misalnya,jumlah kelompok yang terigistrasi sekitar 10 kelompok tani (Poktan). Tahap berikutnya, menyusul 10 poktan baru dengan lokasi atau Desa yang sama.”Setelah Uangnya masuk ke rekening masing-masing poktan, Buku Rekening kemudian dikumpulkan kembali oleh K-UPT. Nah, disitulah berlangsung dugaan permainan dalam proyek tersebut,” terangnya.
Atas temuan itu, pihaknya akan memanggil pihak Dispertapa untuk ketiga kalinya. Jika, dalam panggilan ini tidak diindahkan, maka pihaknya mengancam menggunakan aturan seperti yang tercantum dalam Undang – Undang (UU) MD3. Salah satu pointnya, merekomendasikan hasil temuan dimaksud kepada Institusi Penegak Hukum.”Ini bukan sekedar ancaman, tapi benar-benar akan kami lakukan. Langkah seperti ini teramat penting dan harus dilakukan, agar ada efek jerah bagi oknum tak bertanggungjawab. Kami di komisi II sudah sepakat memberlakukan UU MD3. Soal tidak adanya persetujuan Ketua Komisi II, Ir Suryadin, saya sudah menyarankan agar beliau mengundurkan diri dari jabatan ketua Komisi. Saya kira itu lebih terhormat,” pungkasnya. (KS-Anh)
Nah inilah kebiasaan para pejabat legislatif, selalu main ngancam aja, apasalahnya kalau memang sudah ada bukti kecurangan pejabat yg berbau korupsi ya langsung aja di serahkan sama penegak Hukum biar klir kan, itu juga levih aman.
BalasHapusKami yakin korupsi bukan cuman di satu instansi, karena korupsi itu bsnysk macamnya, korupsi anggaran, korupsi waktu. Korupsi jatah proyek, yg paling hina korupsi/penipuan jual tanah sawah cadangan & tanah sawah x jaminan kades & aparat desa, yg tahun 2017 samapai terjadi pembacokan antara warga masyarakat kab. Bima. Itu semua atas tumpulnya pengawasan oleh Legislatif kab. Bima terhadap pelaksana kebijakan di Kab. Bima. Sekarang boleh ngotot dimediah, tp ujung2nya tak pernah tuntas, kami tunggu hasilnya,